Cuaca yang dingin dan perut yang masih kosong dari
siang, mendorong saya dan beberapa teman untuk mampir di sebuah warung mie aceh
yang ternyata sangat terkenal di kota Lhokseumawe.
Warung “Mie Ayah”, begitulah yang tertulis di
pamflet depan warung sederhana itu. Saat ditanya ke pemilik warung, Safabuddin
(66) atau yang lebih sering dipanggil ayah Safa, nama toko itu diberikan sesuai
dengan cara para pelanggan memanggilnya dengan maksud agar mudah diingat.
Lokasi warung yang buka dari pagi hingga tengah
malam ini, berada di Desa Alue Awe Bukit Rata, sekitar 7,5 kilometer bagian
timur ibukota Lhokseumawe. Tidak begitu jauh dari kampus Politeknik Negeri
Lhokseumawe. Bagi Anda yang melalui jalur darat Medan-Banda Aceh, warung ini
tepat di sebelah kanan jalan.
Warung mie aceh sesungguhnya sangat mudah ditemukan
apalagi di tanah aslinya, di tanah rencong. Namun, mie aceh buatan ayah Safa
berbeda dibandingkan mie-mie aceh lainnya. Sampai-sampai para pejabat di dewan
perwakilan rakyat daerah (DPRD) Aceh Utara, menjadi tamu tetap di warungnya.
Salah satu perbedaannya terdapat di dalam menu mie
aceh yang ditawarkan. Selain menawarkan mie aceh biasa, mie udang, dan mie
kepiting biasa, di warung mie ayah pengunjung juga ditawari mie kepiting jumbo.
Jumbo disini bukan berarti besar, meski kepiting yang ia sajikan sebagian besar
berukuran besar, melainkan kepiting yang masih ada telurnya.
Menurut ayah Safa, jarang para pelanggan datang
hanya untuk membeli mie aceh biasa di warungnya. Kebanyakan mereka memesan mie
aceh udang atau kepiting. “Kepiting berukuran besar tidak akan bertahan lama di
sini apalagi yang bertelur. Kalau pelanggan tahu ada kepiting besar dan
bertelur pasti cepat habis, padahal warung baru saja dibuka,”ujar ayah Safa
yang selalu tampak ceria itu.
Kepiting yang ia dapatkan pun tidaklah sebarangan.
Ia juga tidak membelinya di pasar umum. “Kepiting dan udang khusus dipasok dari
Pantonlabu di Aceh Utara. Saya ada dua pemasok dari sana,”ujarnya. Menurutnya, dengan cara seperti ini
kesehatan dan kualitas kepiting dan udang yang ia beli sudah terjamin berbeda
jika ia membelinya di pasar.
Untuk satu porsi mie kepiting biasa, ayah Safa
memberi harga Rp20.000. Tetapi, untuk menu pilihan kepiting jumbo harganya
sangat tergantung pada berat si kepiting yang dipilih langsung oleh pembeli.
Paling mahal dapat mencapai Rp40.000 satu porsinya. Sedangkan untuk mie aceh
biasa dijual dengan harga Rp4.000 dan mie udang dijual Rp10.000. “Tetapi, itu
pun tergantung pula dengan harga udangnya,”katanya.
Ayah Safa yang dibantu oleh tujuh pelayan ini,
belum termasuk sang istri yang dipanggil Umi dan seorang anaknya, sudah berdiri
sejak tahun 2005. Menurutnya, dalam sebulan omzet yang ia dapat bisa mencapai
tiga juta. Berbeda pula ketika perayaan hari besar, seperti hari idul fitri,
liburan natal, tahun baru dan idul adha. Omzet yang ia dapat bisa dua kali
lipat dari biasanya.
Untuk memasak mie andalannya, ayah memasang dua
buah kuali ukuran sedang dan sebuah kompor yang diletakkan tepat di pintu masuk
warung. Maksudnya mungkin agar para pengunjung bisa melihat langsung kala ia
memasak, bisa pula agar wangi mie aceh buatan ayah bisa menggoda nafsu pengguna
jalan yang lewat di depan warungnya.
Saat ditanyakan, mengapa tidak menggunakan kuali
yang lebih besar lagi agar bisa lebih banyak memasaknya. Ayah Safa mengatakan,
“nanti mienya kurang masak dan rasanya kurang. Biar saja orang menunggu lama
asalkan nantinya mereka puas,”ungkapnya sambil kembali menunjukkan senyumnya.
Sayangnya, Ayah Safa tidak mau mengungkapkan
rahasia dibalik bumbu andalannya. Ayah hanya menjawab pertanyaan umum para
pelanggan itu dengan senyum dan keramahannya. Tetapi, saya yakin itu sangat
bergantung pada pilihan kepiting yang dicampur di dalam mie aceh tersebut.
Bagi Anda yang berkesempatan berkunjung ke
Lhokseumawe, saya anjurkan untuk meluangkan waktu ke warung Mie Ayah untuk
mencicipi mie kepiting. Tangan saya saja sampai belepotan karena begitu asyik
berjuang membuka cangkang-cangkang kepiting. Tetapi, saya jamin Anda akan puas
menikmati mie aceh andalan ayah Safa.
Sumber > Telah diterbitkan di Jurnal Nasional,
16 Desember 2007
Post a Comment