Apa pun yang terjadi hari ini, tak lepas dari
campur tangan ibu. Bagiku, ibuku adalah wanita paling tangguh yang pernah
kukenal. Dulu, ketika kami kecil, dia mengayam tikar untuk mencari uang. Tikar itu
dijual seharga Rp 20.000 per lembar. Untuk membuat tikar ukuran 2 x 2 meter
butuh waktu sehari suntuk. Ibu menganyam tikar, pagi, siang, malam sampai pagi
lagi. Begitu seterusnya. Disela-sela kesibukan menganyam tikar, dia masih harus
memasak, menidurkan aku—anak bungsu—dari delapan bersaudara. Bukan pekerjaan
mudah.
Umurku tujuh tahun, ibuku jualan sayur di pasar.
Untung tak seberapa. Pagi hari dia berjualan di pasar. Siang dan sore hari
menjual penganan di rumah, dari pisang goreng, mie, bakwan dan lain sebagainya.
Semuanya untuk menghidupi kami, delapan putra-putrinya.
Setelah aku lulus sekolah dasar, ibuku bekerja
di salah satu perkebunan milik pemerintah. Jabatannya mandor saat itu. Setiap
pagi, usai subuh, dia berangkat menuju perkebunan. Hari Minggu aku juga diajak
ke perkebunan. Masa-masa sulit itu dilaluinya dengan senyuman. Gaji mandor saat
itu hanya Rp 5.600 per hari. Gaji yang tak seberapa.
Kini, dia telah renta. Perjalanan panjang telah
dilaluinya. Melewati rentetan perang berkepanjangan di Aceh kala itu. Melewati
berbagai musibah, cobaan dan lain sebagainya. Tekadnya hanya satu, kami bisa
sekolah, memiliki pemahaman ilmu agama yang baik. Kini, saatnya kami berbakti. Membawanya
ke dokter saat dia sakit. Memberikan seluruh yang diinginkan oleh ibu. Bakti ini
belum seberapa dibanding pengorbanannya masa silam. Selamat hari ibu.
Post a Comment