Sorak - sorai riuh penonton yang menyaksikan pertandingan olah raga
tradisional di lapangan bola kaki Blang Paseh kota sigli ketika itu, membuat
sebahagian masyarakat terutama kaum tua yang berasal dari berbagai kecamatan
yang kerap menggelar kegiatan yang sama pada hari itu, seakan mereka kembali
kemasa muda mereka puluhan tahun lalu.
Betapa tidak pertandingan olah raga memperingati ulang tahun kemerdekaan
republik indonesia memperebutkan Piala Bergilir Wakil Bupati Pidie 6 tahun lalu
itu, bukanlah kompetisi sepak bola atau olah raga yang sejenis lainnya.
Melainkan sebuah pertandingan olah raga tradisional yang sangat mereka gemari,
bahkan mereka sendiri kerap pernah ikut terlibat didalamnya. Terutama ketika
dulu mereka masih berusia muda, disetiap usai musim panen di desa mereka tiba.
Pertandingan itu mereka sebut permainan Geudeu – Geudeu yang merupakan olah
raga tradisional khas kabupaten pidie.
Bule mencoba geudeu-geudeu. Foto : Net |
Tak ayal beberapa diantara mereka bahkan ada yang berteriak histeris ketika
memberikan semangat kepada tim yang difavoritkan sedang beraksi di tengah
lapangan. Darah tua mereka seakan menggelegak kembali ketika melihat aksi para
petarung muda pada pertandingan yang digelar oleh Dinas Pemuda dan Olah Raga
setempat itu.
Kata salah seorang tokoh Geude – geode yang ditemui, konon olah raga
tradisional yang mirip dengan Gulat dua melawan satu, atau seperti Smack Down
ini, dimainkan oleh masyarakat pedesaan sebagai pelampiasan kegembiraan
mereka pada saat malam purnama setelah uasai musim panen. Dengan beralaskan tumpukan
jerami diareal persawahan yang baru dipanen tersebut, disanalah mereka mengadu
kekuatan secara beregu dua melawan satu dengan aturan yang seadanya.
Aturan mainnya terbilang unik, setiap satu putaran permainan hanya
melibatkan 3 orang petarung yakni 2 melawan 1orang. Petarung yang 2 orang
dengan saling berangkulan tangan diwajibkan hanya boleh menjatuhkan lawan yang
1 orang dengan berupaya menangkap dan membantingnya tanpa boleh memukul.
Sedangkan petarung yang 1 orang boleh menendang dan memukul lawan dengan
batasan dari bagian dada hingga kebawah. Biasanya pertandingan tersebut hanya
melibatkan petarung dari 2 tim yang berlainan desa. Masing – masing desa
biasanya menurunkan belasan orang petarungnya secara bergantian.
Bila pada putaran pertama tim A menurunkan 2 orang petarungnya melawan 1
orang petarung dari tim B, maka pada putaran berikutnya tim A akan
menurunkan 1 orang petarungnya melawan 2 orang dari tim B demikian seterusnya.
Sedangkan durasi waktu untuk satu putaran biasanya tidak ada ketentuan yang
baku. Kecuali hanyalah sebatas petarung yang 2 orang mampu menjatuhkan petarung
yang 1 orang.
Dan yang uniknya lagi dulunya pertarungan mereka itu digelar dengan tanpa
dipimpin oleh seorang wasit. Sehingga kapan waktunya pertarungan itu akan
selesai pun tidak ditentukan dengan batasan waktu tertentu.
Menurut Penjabat Bupati dari Kabupaten tetangga yang merupakan salah
seoarang yang sangat mengemari dan juga banyak mengetahui tengtang Geude –
geode, yang ikut menurunkan timnya dalam event memeriahkan hari jadi Republik
Indonesia tersebut ketika itu, olah raga tradisional Geudeu – Geudeu ini sudah
ada sejak jaman penjajahan Belanda sebelum Indonesia merdeka.
Dulu bahkan oleh sejumlah kaum bangsawan di Pidie, olah raga ini pernah dijadikan
sebagai Prioritas pertunjukan resmi dilingkungan Meuligoe para Bangsawan
setempat. Kata dia lagi, konon Geudeu – Geudeu adalah sebagai olah raga tradisi
warisan para leluhur mereka yakni masyarakat Pidie.
Meski tidak meiliki aturan permainan yang baku, olah raga keras ini sangat
digemari oleh masyarakat Aceh khususnya di Kabupaten Pidie. Yang menarik dalam
permainan Geudeu – Geudeu ini, sering kali para pemainnya mengalamai
cedera patah dan sebagainya akibat pukulan dan bantingan, namun demikian, nilai
– nilai sportivitasnya tetap selalu bisa dijaga dan terjunjung tinggi.
Setelah saling pukul dan banting dalam permainan, selanjutnya mereka saling
berpelukan usai pertandingan. Tanpa berujung dendam berkepanjangan, baik secara
kelompok maupun perorangan.
M. Husen 46 tahun salah seorang pemain handal Geudeu - geudeu dari simpang
tiga, baginya olah raga tradisional ini sangat menyenangkan. Permainan yang
digelutinya sejak ia masih duduk dibangku sekolah dasar dulu itu, dapat
memuaskan batinnya, paling tidak saat ia dapat mengalahkan lawan - lawannya.
Pasca pergolakan Politik yang melahirkan konflik berkepanjangan di Bumi
Serambi Mekah puluhan tahun lalu, olah raga Tradisional khas Kabupaten Pidie
ini mengalami kefakuman. Popularitasnya semakin surut, bahkan terkesan nyaris
terlupakan.
Lalu pada tahun 1989 Saidi Amin salah seorang Guru olah raga dari jajaran
dinas pendidikan kabupaten pidie, mengangkat olah raga Geudeu – Geudeu kedalam thema
penulisan skripsinya.
Dalam penulisannya tersebut dia coba munculkan sejumlah aturan main yang
baru bagi olah raga Geude – geode tersebut, sebagai tuntutan Modernisasi sesuai
perkembangan zaman.
Selanjutnya berselang dua tahun kemudian tepatnya tahun 1991, untuk pertama
kalinya olah raga tradisional ini dipertandingkan kembali. Respon masyarakat
kabupaten pidie terhadap olah raga yang mirip Smack Down ini ternyata masih
cukup besar. Buktinya ribuan orang datang berbodong – bondong untuk menyaksikannya.
Bahkan menurut Kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga setempat ketika itu, usai
menggelar pertandingan resmi lanjutan memperebutkan Piala Wakil Bupati Pidie ke
I pada tahun 2006 lalu, dia juga mengaku pernah mengikut sertakan tim Geudeu –
Geudeu kabupaten pidie ini dalam pekan olah raga tradisional di Jakarta.
Hasilnya sangat memuaskan, paling tidak kata dia upayanya tersebut telah
melahirkan decak kagum bagi yang sempat menyaksikannya ketika itu.
Lantas wajar saja pada pertandingan Geude - geude dalam rangka memeriahkan
HUT – RI beberapa waktu lalu itu, animo masyarakat terhadap olah raga
musim panen ini semakin tinggi. Oleh sebab itu pihak Dinas Pemuda dan Olah Raga
Kabupaten Pidie ketika itu berjanji akan terus berupaya keras untuk melertarikannya.
Janji sang kepala dinas pemuda dan olah raga kabupaten pidie itu, untuk
melertarikan olah raga tradisional Geude – Geudeu dengan aturan permainnan yang
lebih permanen tersebut, mendapat sambutan hangat terutama oleh Wakil Bupati
Pidie Nazir Adam SE. Bahkan ketika itu Nazir Adam sang Wakil Bupati yang
sebentar lagi akan habis masa jabatannya itu, sempat memberikan sinyal yang
sangat positif dengan berjanji sepenuhnya akan mendukung program dimaksud.
Bahkan kata Wakil Bupati yang baru menjabat empat bulan lebih ketika itu
juga sempat berharap, pada Event yang sama tahun – tahun berikutnya, kelompok
peserta yang ikut bertanding diharapkan akan lebih banyak lagi. Paling tidak
setiap kecamatan masing – masing dapat mengirimkan 1 timnya. Dengan demikian
kata dia, upaya untuk melanjutkan pembinaannya menjadi lebih maksimal.
Bagi sebagian orang, olah raga tradisional Aceh yang hanya ada di Kabupaten
Pidie ini adalah sebuah permainan yang sangat unik. Betapa tidak olah raga
keras dengan resiko cidera yang amat tinggi ini, bisa dimainkan dengan aturan
yang seadanya. Bahkan tanpa menimbulkan bias dendam yang berlanjut. Padahal
dalam arena pergulatannya, para pemain sering terbius emosi yang kental untuk
mengalahkan lawan tandingnya.
Oleh sebab itulah menurut Abdurrahman seorang pemerhati Geudeu –
Geudeu asal kecamatan sakti menyarankan, agar upaya melestarikan olah raga
tradisional ini harus pula disertai dengan upaya melahirkan peraturan
permainannya yang lebih kongkrit dan baku. Hal itu dimaksudkan selain untuk
menambah daya tariknya, juga sebagai upaya memperkuat nilai – nilai Sportivitas
olah ragawan sejati.
Untuk dapat mengembalikan popularitas olah raga tradisional ini seperti
pada zaman kejayaan kesultanan Aceh dulu, salah seoarang anggota DPRK Pidie
ketika itu Amri yang juga mantan pemain Geudeu – Geudeu asal simpang tiga
bahkan berjanji, melalui lembaganya yakni Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
setempat, ia akan terus berupaya mendorang pemerintah daerah untuk melekukan
pembinaan yang sistematis. Sebab menurutnya olah raga peninggalan para leluhur
masyarakat Pidie ini haruslah tetap dilestarikan sebagai sebuah kebanggaan bagi
generasi sekarang.
Kata Amri lagi ketika itu, jika semua pihak peduli dan serius untuk
memikirkan pola pengembangannya, maka ia sangat optimis olah raga tradisional
Geudeu – Geudeu ini akan kembali mencapai puncak popularitasnya di Kabupaten
Pidie bahkan di seantero Aceh.
Selain sarat dengan nilai – nilai sejarah, seni dan kebudayaan yang
terkandung didalamnya, olah raga tradisional aceh Geudeu - Geudeu yang hanya
ada di bumi Kabupaten Pidie ini, juga memiliki pesona simbolis dari
karakteristik masyarakat aceh yang Fulgar.
Bahkan lebih dari sekedar itu, olah raga yang konon dimainkan malam hari
saat bulan purnama setelah uasai musim panen ini, juga bisa dijadikan sebagai
media pemersatu bagi utuhnya ikatan persaudaraan sesama warga masyarakat dari
satu desa, kecamatan, atau bahkan Kabupaten yang satu dengan yang
lainnya.
Paling tidak dengan seringnya menggelar pertandingan olah raga
tradisional Geudeu – Geudeu ini dapat mengisyaratkan arti sebuah persatuan yang
utuh. Bisa dibayangkan, ribuan orang dari berbagai kelompok masyarakat
sekabupaten bisa berbaur menyatu dengan antusias yang sama dalam sebuah
pertandingan olah raga tradisional, ini merupakan sebuah wahana yang paling
strategis untuk mengalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Tapi apa lacur yang terjadi sekarang ini, pada saat geliatnya kembali membias
dan mendapat sambutan hangat dari sejumlah pihak di Kabupaten Pidie ini,
pesonanya kembali memudar seiring berjalannya waktu. Janji manis dari seorang
Wakil Bupati yang sebentar lagi akan habis masa jabatannya itu tak sempat
terrealisasi.
Harapan pak Abdurrahman sang pemerhati Geude – geude asal kecamatan Sakti
pun menjadi tak berujung. Bahkan
upaya Amri untuk mendorong Pemerintah daerah dalam rangka pembinaan yang
sistematis bagi pengembangannya pun menjadi kandas, seiring lengsernya Amri
sebagai anggota DPRK. (sumber pemkab
pidie)
Post a Comment