Sepanjang jalan tampak remaja berkendaraan santai. Suasana seperti itu terekam di Jalan lintas Subulussalam-Tapaktuan, jalan protokol di kota tersebut. Akhir Januari lalu saya mengunjungi kota tersebut dan mengunjungi sungai Namo Buaya, salah satu obyek wisata di daerah itu. Lokasi wisata ini sekitar 15 kilometer arah timur Kota Subulussalam. Sepanjang jalan, pohon sawit dan karet milik warga berjejer menambah sejuk suasana sore itu.
Untuk menuju kesana, tidaklah sulit, mengikuti jalan beraspal menuju kearah Aceh Selatan. Lalu, tepat didepan perkebunan sawit milik warga Namo Daulat, berbeloklah ke kanan. Jalanan disini sedikit terjal dan berbatu. Jika mengendarai kendaraan roda dua, perlu hati-hati. Jalanan terjal dan menanjak harus dilalui untuk menuju obyek wsiata yang baru saja di buka oleh Pemerintah Kota Subulussalam itu. “Sebelumnya, tidak ramai pengunjung kemari. Sekitar akhir tahun 2007 lalu, baru dibuka dan mulai ramai dikunjungi oleh masyarakat,” sebut Saftiyah, warga Jalan. Cut Nyak Dhien, Kota Subulussalam.
Melewati jalan terjal dan berbatu menjadi tantangan tersendiri bagi para pengunjung. Namun, tidak sedikit pula masyarakat yang berharap, agar jalan menuju obyek wisata sungai itu diperbaiki oleh pemerintah setempat. “Kalau diperbaiki mungkin akan lebih ramai pengunjung kedaerah ini,” sebut Dalfian Tanjung salah seorang pengunjung disana.
Setelah sekitar dua kilometer masuk kedalam, maka temukanlah papan kayu yang menjadi penunjuk jalan. Lalu ikutilah arah papan yang bertuliskan lokasi wisata irigasi tersebut. Masyarakat Subulussalam dan sekitarnya lebih sering menyebutkan obyek wisata ini dengan nama irigasi dibanding dengan nama sungai Namo Buaya. Memang sungai itu juga digunakan sebagai saluran air (irigasi) untuk kecamatan Sultan Daulat dan sekitarnya.
Gemercik deras arus sungai terdengar menghayutkan pengunjung dalam dekapan hutan Singkil tersebut.Sebelumnya, secara geografis, daerah wisata ini masuk kedalam daerah Aceh Singkil. Tepatnya Kecamatan Sultan Daulat. Namun, kini, daerah itu sudah masuk kedalam kawasan Pemko Subulussalam. Tampak masyarakat bermandi ria dikawasan itu. Lokasi wisata ini sekilas mirip dengan kawasan wisata Bate Iliek di Kecamatan Samalanga, Bireuen. Keduanya, digunakan sebagai irigasi dan memiliki arus yang deras. Banyak anak-anak dan remaja berenang dengan menggunakan ban mobil di sungai yang jernih itu. Pantulan matahari sore memencarkan kilauan dari air sungai yang mengalir deras.
Meski begitu masyarakat tampak memadati kawasan itu. Bahkan, sebut Saftiyah, jika hari libur, masyarakat tumpah ruah di kawasan wisata itu. “Kalau hari libur banyak sekali pengunjung. Mungkin karena airnya bersih, jernih dan derasnya lumanyan,” sebut Dalfian Tanjung.
Jika ingin mencoba
kedalaman sungai itu, silahkan terjun dari papan yang telah disediakan.
Ketinggian papan dari permukaan air sekitar lima meter. Beberapa pengunjung
tampak menguji nyali dan meloncat bebas kedalam air dari papan tersebut.
“Nikmat, airnya sangat sejuk. Segar,” ujar Rina Hastuti, pengunjung lainnya.
Selain itu, jika ingin mengarungi derasnya arus sungai itu, maka sewalah ban
mobil disana. Harganya hanya Rp. 5.000 per jam. Namun, jika pengunjung lagi
sepi, ban tersebut dapat dipakai sepuasnya dengan harga Rp. 5.000 alias sama
dengan harga sewa per jam pada hari libur dan ramai pengunjung.
Makanan Ringan Mahal
Jika berkunjung kelokasi wisata ini, maka bawalah bekal sekucupnya. Maklum, obyek wisata dalam hutan Singkil itu, tidak menyediakan makanan ringan yang cukup. Hanya ada dua warung yang menyediakan makanan dan minuman ringan disana. Itupun dengan harga yang relatif mahal. “Kami lebih memilih membeli makanan di Subulussalam daripada disini,” ujar Rina.
Obyek wisata irigasi, memang bukan satu-satunya obyek wisata di Kota Subulussalam. Masih ada obyek wisata yang tersimpan dalam perut bumi kota jalan kesejahteraan itu seperti air terjun Nantampuk Mas, ESKPC dan Penuntungan. Kondisinya kurang lebih sama dengan kawasan wisata irigasi. Kurang fasilitas. Di air terjun Nan Tampuk Mas misalnya, jalanan menuju kesana sangat sulit. Tanah liat harus dilalui. Bayangkan jika keluar dari air terjun dan hujan turun. Tanah liat itu sangat sulit dilalui kendaraan roda dua. “Kita berharap agar setelah nanti Pemko definitif semua infrastruktur akan diperbaiki. Termasuk obyek wisata ini. Bukankah pemasukan dari sini lumanyan banyak,” ujar Dalfian Tanjung diplomatis.
Matahari mulai berarak ke ufuk barat. Senja mulai turun. Satu-satu masyarakat tampak meninggalkan kawasan wisata irigasi itu. “Khawatir kalau hujan. Longsor dan susah keluar dari sini,” ujar Saftiyah. Begitulah kondisi wisata Kota Subulussalam. Wisata didaerah itu butuh perhatian dan promosi ekstra dari pemerintah setempat. Karena wisata yang indah tersebut tersembunyi dalam perut bumi Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Dan, tanpa promosi, masyarakat di luar Subulussalam tidak akan tahu, bahwa alam disana masih perawan dan menyimpan segudang keindahan. [masriadi sambo]
Post a Comment