SIANG ITU, awal
Desember lalu, langit
di Tapaktuan begitu cerah. Tak ada mendung yang menggantung. Geliat aktivitas
masyarakat seperti biasa. Semuanya berjalan normal. Tentunya, geliat ini tidak
terlihat dua tahun lalu, sebelum MoU damai Aceh antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani. Ya, paskapenandatanganan di Helsinki itu, Tapaktuan
kembali hidup.
Kota ini menyimpan legenda
tentang asal muasal nama Tapaktuan. Kota Naga, sebutan untuk kota itu bukan tidak memiliki sejarah.
Legenda inilah yang diburu banyak ahli sejarah ke kota
yang berkelok-kelok dikaki bukit dan didepan pantai Samudera India ini. Jam menunjukkan pukul
10.00 Wib saat kami mengunjungi rumah Nasiruddin Gani, salah seorang ahli
sejarah kota
tersebut, 30 Nopember 2007 lalu. Usianya 60 tahun. Namun, gaya bahasa Wakil Ketua Majelis Adat Aceh
(MAA) Aceh Selatan ini lugas dan jelas. Senyumnya menyambut kedatangan kami
dirumahnya yang sederhana tepat dibelakang Kota Tapaktuan.
Nasiruddinpun mulai bercerita.
Alkisah, dizaman dahulu kala, ribuan tahun lalu, di Aceh Selatan hidup dua ekor
naga yang sangat perkasa dan memiliki ilmu sakti mandraguna. Sepasang naga ini,
memiliki anak yang bernama Putri Naga. Putri ini cantik jelita. “Saya mendengar
cerita ini ketika waktu remaja, dari Teungku Imam Ibrahim (Imam besar Mesjid
Tapaktuan) kala itu dan Patih Muhammad Syam, orang yang mengerti sejarah kota
ini,” sebutnya. Lelaki ini mengenakan kemeja lengan pendek warna coklat susu.
Nasiruddin melanjutkan ceritanya.
Konon ceritanya, suatu ketika –
tidak ada masyarakat yang mengetahui tahun pasti, sepasang naga tengah
berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba
berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam
itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu mendekat ke arah sang
naga. Gelombang laut yang membawanya mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus
memperhatikan titik hitam itu.
Ketika titik hitam itu semakin
mendekat, Sang Naga terjun alang kepalang. Titik hitam itu adalah tiga sosok
manusia, berada lam perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang laut Aceh
Selatan.
Ketiga manusia itu adalah sepasang
suami-istri bersama bayinya. Bayi mungil ini berada dalam pangkuan ibunya.
Mereka sengaja datang ke daerah itu bermaksud mencari rempah-rempah yang
keberadaannya sudah cukup dikenal. Aceh Selatan sejak zaman Belanda menjajah
daerah itu memang dikenal kaya akan hasil alam. Nilam, Cengkeh dan Pala
merupakan tumbuhan yang dominan disana. Bahkan tumbuhan itu hingga kini menjadi
komuditi unggulan daerah itu.
***
Seteguk teh manis hangat membasahi
kerongan Nasiruddin. Lelaki murah senyum ini bertanya pada saya. ”Bagaimana,
sampai disini, anak yakin tidak,” tanyanya pada saya. Saya tersenyum dan
mengatakan cerita ini menarik.
”Kalau mau merokok, silahkan. Saya
lanjutkan ceritanya nanti, ”sebutnya sambil meletakkan gelas teh diatas meja
kaca diruang tamu rumahnya. Di dapur, cucu-cucu Nasiruddin terlihat sibuk
bermain.
Lelaki yang telah ditumbuhi uban
dikepalanya inipun bercerita, setelah melihat ketiga anak manusia itu, Sepasang
Naga sakti yang bisa melakukan terhentak. Lalu, dia meniup perahu yang sudah
sangat dekat itu. Sekali tiup saja, perahu kecil itu terombang-ambing dan
tenggelam ditelan ombak deras. Kemudian Naga Betina, menjulurkan lidahnya
menangkap putri kecil yang terhempas dari perahu itu.
Pasangan Naga ini sangat senang
mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidam-idamkan seorang putri. ”Setelah
selamat dan menepi kedarat orangtua si Putri begitu sedih kehilangan buah
hatinya dan tidak tahu ke mana putrinya menghilang. Mereka berpikir bahwa anak
perempuan kesayangannya sudah hilang tenggelam dalam lautan dan badai atau
hilang entah ke mana,” ujar Nasiruddin tersenyum.
Matahari mulai terik. Jam dinding
berdentang 12 kali. Sudah dua jam Nasir bercerita. Lalu, pria ini menarik nafas
dalam-dalam. Disandarkannya tubuhnya ke kursi model jepara itu. Dia melanjtkan
ceritanya. Akhirnya sepasang naga membawa putri mungil hasil rampasan mereka ke
sebuah pulau, pulau ini terletak di Batu Hitam, Kecamatan Tapaktuan Aceh
Selatan.
Tulisan Kota Naga di Pusat Kota Tapak Tuan, Aceh Selatan |
Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Sang Putri kecil, setelah sadar dari pingsannya, menangis sejadi-jadinya begitu melihat sosok Naga aneh dan menyeramkan. Si Putri kecil Ia takut. Diapun terus menangis sekuat-kuatnya. Naga betina pusing memikirkan tangisan putri itu. Terpaksa dia menggunakan kesaktiannya untuk menenangkan si Putri agar tak mengeluarkan air mata lagi.
Putri
ini diberi nama Putri Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini. Bahkan Naga
Jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan
dan minuman tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah
tinggal bersama mereka. ”Putri inilah yang kemudian disebut Putri Naga,” ungkap
Nasiruddin.
Waktu terus
bergulir. Putri Bungsu merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua
yang dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar obrolan sepasang
Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu. Dia tersentak. Sadar,
bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal
dari bangsa manusia.
Niat untuk melarikan diripun
muncul dalam benaknya. Putri Bungsu
tidak gegabah. Dia bersabar untuk menemukan waktu yang tepat melarikan diri
dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.
***
Waktu yang dinantikanpun tiba.
Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah kaki
gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan kala itu
sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit
menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia
bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirahat
dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun mengurungkan niat untuk
kabur dari gunung itu.
Siang-malam Putri nan cantik
jelita itu mencari akal. Ide cemerlangpun muncul dikepalanya. Satu dia mengajak
pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Naga kelelahan dan
tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil
yang dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas.
Jarang sekali perahu yang mahu
mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah perahu
kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang menyapanya.
”Perahu inilah yang membawa putri
bungsu pergi,” tegas Nasiruddin. Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut
bersama awak kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah
mati. Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti
perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat
pelan itu.
***
Lalu apa hubungan Putri Bungsu,
Naga dan Tuan Tapa? Nasiruddin melanjutkan kisahnya. Sepasang Naga itu mengejar
perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu,
seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia
sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.
Dia keluar dari gua tersebut. Lalu
menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan puncak sedang
mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.
Dihadangnya Naga yang sedang
mengejar perahu. Permuluhan hebatpun tak dapat dihindarkan. Dari mulut kedua
Naga menyemburkan api. Tuan Tapa menghela tongkatnya hingga mengeluarkan air
deras dan memadamkan api Naga. Tak mau kalah, sang Naga jantan pun mengeluarkan
ribuan anak panah berapi yang diarahkan ke Tuan Tapa. Tuan Tapa bisa
menghindari serangan itu. Tak ketinggalan, Naga betina juga mengeluarkan
pisau-pisau beracun yang juga berhasil dielakkan Tuan Tapa.
Karena terus-menerus mengeluarkan
kekuatannya, kesaktian kedua Naga mulai berkurang. Kesempatan itu dimanfaatkan
Tuan Tapa untuk menyerang lebih dahsyat. Dengan tongkat sakti miliknya, Tuan
Tapa mengayunkan benda panjang itu ke arah dua Naga. Naga betina, mencoba
menghindar dengan cara melarikan diri menjauhi Tuan Tapa. Saat lari kencang tak
tahu arah itulah sang Naga betina menabrak sebuah pulau hingga terbelah pulau. Pulau
terbelah ini kemudian oleh masyarakat Aceh Selatan disebut sebagai Pulau Dua,
di Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan
Sementara Tuan Tapa mengejar sang
Naga jantan yang sudah terluka akibat serangan ‘tongkat sakti’. Tuan Tapa memukul
tongkat saktinya bertubi-tubi ke tubuh Naga jantan hingga hancur
berkeping-keping dan jatuh terjerembab ke tanah. Tubuh Naga jantan hancur
berserakan dan darah berceceran yang menyebar memerahkan tanah, bebatuan dan
lautan.
Lanjut Nasiruddin, bekas tempat
ceceran darah Naga itu kini masih terlihat berupa tanah dan batu yang memerah. Kini
disebut dengan Tanah Merah. Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar
menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya
hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah
ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.
Di tempat pertempuran Naga dan
Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu,
dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.
Bagaimana nasib sang Putri?
Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam legenda tersebut
dikisahkan sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup
bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri Bungsu kemudian mendapat julukan
sebagai ‘Putri Naga’.
Karena kisah ini pula, orang
menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota
Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di dinding
pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor Bupati Aceh
Selatan.
”Anak boleh percaya boleh tidak. Mungkin kalau ditanya ke masyarakat lain, cara penyampaiannya yang berbeda,” sebut Nasiruddin. Lalu, saya memastikan ucapan Nasiruddin Gani. Saya temui Zamzami Surya mantan Kabag Kebudayaan Dinas Pariwisata Aceh Selatan. Pria berbadan kecil ini, mengakui kebenaran cerita Nasiruddin. Zamzamy yang kini menjabat Kepala Dinas Bapedalda Aceh Selatan tersenyum saat saya menanyakan kisah Kota Naga.
”Sebenarnya, ceritanya sama. Cara
penyampaiannya yang berbeda. Yang pasti dalam semua cerita yang disampaikan
tokoh adat atau masyarakat biasa tentang legenda ini tak terlepas tiga hal,
yaitu ada dua ekor naga, perahu, tuan tapa. Putri Bungsu. Lalu, ada pertempuran,”
sebutnya sambil tersenyum.
Satu lagi, lanjut Zamzamy,
lihatlah bukit itu. Tangannya menunjuk kesebalah timur kota Tapaktuan. Sebuah
gunung menjulang. ”Perhatikan bukit itu. Disitulah putri dan naga itu tidur,”
sebutnya. Bukit itu mirip Putri yang sedang tidur. Tampak rambut terurai dengan
buah dada yang terlihat jelas. Ini juga disebutkan oleh Nasiruddin Gani.
Bila cuaca cerah, gambaran bukit seperti putri tidur itu
terlihat jelas. ”Apalagi jika bulan purnama, semakin jelas,” sebut Zamzamy
Surya. Nama Putri Bungsu menjadi ikon wisata tersendiri di Tapaktuan. Bahkan,
sebuah hotel yang berada di pusat kota ini diberi nama Putro Bungsu
(Putri Bungsu) oleh pemiliknya. [masriadi
sambo]
+ comments + 1 comments
Tapaktuan Kota Naga di Aceh http://zidanpragata.grn.cc/sejarah/tapaktuan-kota-naga-di-aceh/
Post a Comment