5 Juli 2012
Gubernur
Aceh, dr H Zaini Abdullah, melantik Bupati/Wakil Bupati Aceh Utara, Muhammad
Thaib/M Jamil, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota, Suadi Yahya/Nazaruddin. Usai
pelantikan, sejumlah wartawan ingin mewawancarai orang nomor satu di Aceh itu.
Tiba-tiba,
pasukan pengamanan tertutup (Pamtup) menghardik sejumlah wartawan yang hendak
mewawancarai petinggi Partai Aceh itu. Pamtup ini juga menyikut beberapa
wartawan. Ada beberapa wartawan yang kena sikut, seperti
wartawan dari RRI Lhokseumawe, dan Rakyat Aceh. Mereka pun tak jadi berjalan.
Saat itu, Armiadi, menanyakan apa sikap doto Zaini—panggilan akrab—Zaini Abdullah.
“Itu hanya mis komunikasi”. Kurang lebih begitu jawabanya. (Serambi, 6 Juli
2012).
Sikap
arogan Pamtup ini menurutku berlebihan. Wartawan itu berniat mewawancarai. Seharusnya, sebagai bawahan yang
baik, dia harus memberi waktu untuk wawancara. Doto Zaini saja bersedia
melayani wawancara. Mengapa mesti melarang?
Jika
pun alasannya demi keamanan, mungkinkah wartawan membawa senjata tajam atau
senjata api, saat meliput peristiwa seremoni pelantikan seperti itu? Ah…rasanya
tidak mungkin. Wartawan hanya membawa
pena dan kamera. Itu untuk peralatan liputan. Jika melihat kasus ini, Doto
Zaini patut menegur pamtupnya itu. Pekerjaan jurnalis itu dilindungi
undang-undang. Bukan pekerjaan yang diharamkan oleh agama maupun Negara. Sudah
sepatutnya saling menghargai profesi.
Sikap
arogan, tak perlu dipelihara. Bukankah sebagai penganut Islam, dianjurkan untuk
saling menghargai, meyayangi dan seterusnya. Tidak ada satu pun agama yang
menganjurkan bersikap arogan di jagat raya ini. Mari saling menghargai profesi
masing-masing teman.
Post a Comment