Perpustakaan Keluarga

Wednesday, July 11, 20120 comments

SEJUMLAH judul buku berjejer di lemari dekat televisi rumahku. Buku itu sejak dari zaman kuliah. Dulu, ibuku selalu berpesan, beli buku. Ada beberapa pesan yang dia sampaikan setiap kali mengirimkan uang jajan. Pesannya, pertama beli buku, kedua uang belanja, ketiga kuliah, keempat sisanya ditabung. Waktu itu tahun 2004. Harga barang mulai mahal. Ibuku hanya mengirimkan uang Rp 30.000 per bulan. Jumlah yang tak seberapa itu, masih saja ada pesan sisanya ditabung. Ibu mendidik agar kami berhemat. Meski tidak cukup, tetap saja ada pesan buat hemat.

Satu hal yang kuperhatikan, buku berada diurutan pertama. Ibuku menyarankan kami selalu membeli buku. Sepedih-pedihnya anak kos. Ibu mewajibkan membeli buku. Buku apa saja. Tema apa saja. Dari politik sampai sastra. Dari ekonomi sampai ilmu eksakta.

Sejak kuliah, aku mencicil membeli buku. Targetnya sebulan bisa satu. Maklum, anak kos. Uang pas-pasan di kantong. Agenda beli buku satu per bulan selalu saja gagal. Memasuki semester enam kuliah, Tuhan mulai memberikan rezeki. Agenda beli buku jadi mudah. Mulai lah satu per satu buku menumpuk di kamar kos. Sebagian hilang dipinjam teman, dan tak kembali hingga kini.

Saat ini, istriku membuat katalog buku. Aku lebih mudah mencari buku yang kubutuhkan. Sebelum tidur, selalu menyempatkan diri membaca buku. Dari novel hingga kajian-kajian serius. Bukan sok pintar. Hanya ingin menambah pengetahuan saja. Aku orang kampung. Pengetahuan nol. Solusinya, harus menambah pengetahuan dari berbagai buku, koran dan majalah. Kegiatan ini sebenarnya aksi balas dendam. Dulu, untuk membaca koran saja susahnya minta ampun. Harus menunggu orang tua, dosen, atau pegawai negeri sipil selesai membaca koran di kantin kampus. Setelah itu baru giliranku membaca koran. Artinya, aku orang ke sekian ratus yang memegang koran itu. Bayangkan saja, betapa remuknya koran itu sudah. Kini, setelah sanggup membeli beberapa buku, sudah seharusnya rajin membaca. Aku selalu bilang begini, membaca saja belum pintar juga, apalagi jika tidak membaca.

Beruntung istriku paling tahu buku apa yang kubutuhkan. Dia mengatur buku di lemari dengan teliti. Buku itu dipisah pada beberapa rak. Sastra khusus pada rak sastra. Politik, komunikasi dan seterusnya juga sama. Jadi, hanya butuh waktu beberapa menit untuk mencari buku yang kubutuhkan.

Sebagian besar buku itu hibah dari teman-teman di luar pulau. Setiap ulang tahun, biasanya aku menerima pasokan buku dari mereka. Ada buku kajian timur tengah, kajian amerika, dan lain sebagainya. Ini sangat membahagiakan. Hanya istriku yang membelikan barang tertentu jika ulang tahun.

Salah satu cita-citaku adalah memiliki perpustakaan pribadi. Hayalannya, ketika memiliki rumah sendiri, beberapa ruang akan kujadikan perpustakaan. Orang sekampung bisa meminjam buku di perpustakaan itu. Syaratnya harus dikembalikan. Jangan sampai tidak kembali lagi seperti selama ini. Ketika buku “Felomena” hilang, aku kecewa. Buku ini sangat menginspirasi. Bahkan, almarhumah putriku kuberi nama itu. Sayangnya, cita-cita ini belum tercapai. Mendirikan perpustakaan keluarga, ya kupikir itu membuatku bahagia.

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger