SEJUMLAH judul buku berjejer di lemari dekat
televisi rumahku. Buku itu sejak dari zaman kuliah. Dulu, ibuku selalu
berpesan, beli buku. Ada beberapa pesan yang dia sampaikan setiap kali
mengirimkan uang jajan. Pesannya, pertama
beli buku, kedua uang belanja, ketiga kuliah, keempat sisanya ditabung. Waktu itu tahun 2004. Harga barang mulai
mahal. Ibuku hanya mengirimkan uang Rp 30.000 per bulan. Jumlah yang tak
seberapa itu, masih saja ada pesan sisanya ditabung. Ibu mendidik agar kami
berhemat. Meski tidak cukup, tetap saja ada pesan buat hemat.
Satu
hal yang kuperhatikan, buku berada diurutan pertama. Ibuku menyarankan kami
selalu membeli buku. Sepedih-pedihnya anak kos. Ibu mewajibkan membeli buku. Buku
apa saja. Tema apa saja. Dari politik sampai sastra. Dari ekonomi sampai ilmu
eksakta.
Sejak
kuliah, aku mencicil membeli buku. Targetnya sebulan bisa satu. Maklum, anak
kos. Uang pas-pasan di kantong. Agenda beli buku satu per bulan selalu saja
gagal. Memasuki semester enam kuliah, Tuhan mulai memberikan rezeki. Agenda beli
buku jadi mudah. Mulai lah satu per satu buku menumpuk di kamar kos. Sebagian hilang
dipinjam teman, dan tak kembali hingga kini.
Saat
ini, istriku membuat katalog buku. Aku lebih mudah mencari buku yang
kubutuhkan. Sebelum tidur, selalu menyempatkan diri membaca buku. Dari novel
hingga kajian-kajian serius. Bukan sok pintar. Hanya ingin menambah pengetahuan
saja. Aku orang kampung. Pengetahuan nol. Solusinya, harus menambah pengetahuan
dari berbagai buku, koran dan majalah. Kegiatan ini sebenarnya aksi balas
dendam. Dulu, untuk membaca koran saja susahnya minta ampun. Harus menunggu
orang tua, dosen, atau pegawai negeri sipil selesai membaca koran di kantin
kampus. Setelah itu baru giliranku membaca koran. Artinya, aku orang ke sekian
ratus yang memegang koran itu. Bayangkan saja, betapa remuknya koran itu sudah.
Kini, setelah sanggup membeli beberapa buku, sudah seharusnya rajin membaca. Aku
selalu bilang begini, membaca saja belum pintar juga, apalagi jika tidak
membaca.
Beruntung
istriku paling tahu buku apa yang kubutuhkan. Dia mengatur buku di lemari
dengan teliti. Buku itu dipisah pada beberapa rak. Sastra khusus pada rak
sastra. Politik, komunikasi dan seterusnya juga sama. Jadi, hanya butuh waktu beberapa
menit untuk mencari buku yang kubutuhkan.
Sebagian
besar buku itu hibah dari teman-teman di luar pulau. Setiap ulang tahun, biasanya
aku menerima pasokan buku dari mereka. Ada buku kajian timur tengah, kajian
amerika, dan lain sebagainya. Ini sangat membahagiakan. Hanya istriku yang
membelikan barang tertentu jika ulang tahun.
Salah
satu cita-citaku adalah memiliki perpustakaan pribadi. Hayalannya, ketika
memiliki rumah sendiri, beberapa ruang akan kujadikan perpustakaan. Orang sekampung
bisa meminjam buku di perpustakaan itu. Syaratnya harus dikembalikan. Jangan sampai
tidak kembali lagi seperti selama ini. Ketika buku “Felomena” hilang, aku
kecewa. Buku ini sangat menginspirasi. Bahkan, almarhumah putriku kuberi nama
itu. Sayangnya, cita-cita ini belum tercapai. Mendirikan perpustakaan keluarga,
ya kupikir itu membuatku bahagia.
Post a Comment