Anak Seribu Ayah

Wednesday, August 1, 20120 comments

AKU terkejut ketika menerima buku warna abu-abu. Ya, rapor Sekolah Menengah Atas (SMA) yang pertama kuterima. Dalam buku itu disebutkan ibuku bernama Yuna, sedangkan di kolom nama ayah tidak tertulis nama siapa pun. Kolom itu kosong.

Mungkinkah aku ini anak yang lahir dari pecahan batu di rimba Tuhan? Atau aku ini anak yang lahir dari rahim bongkahan kayu di pegunungan Nusantara? Ah, aku tak tahu. Perlahan, bulingan jernih menetes di pipiku. Aku bingung siapa aku sebenarnya.  Langkahku gontai menuju gubuk tua Mak Saleha, orang yang selama ini kukira ibuku. Saat itu, Mak—begitu aku memanggil Mak Saleha--sedang di kebun.Wanita ringkih ini sudah tujuh tahun menemaniku sejak aku lahir.

Senyumnya menyambutku. Mak memagang parang kecil. Dia baru saja menyiapkan kayu bakar untuk masak sore nanti. Keringatnya memasahi baju kaos lusuh itu. Nafasnya terlihat ngos-ngosan. Mak letih. Ah, tak mungkin kutanyakan masalah Ayahku saat ini.

“Sudah pulang anak Mak? Bagaimana rapornya, biru semua atau ada merahnya?”

“Aku ranking satu, Mak. Tadi, Bu Ratih kirim salam pada Mak,” jawabku sambil duduk di samping Mak. Mak memperhatikan isian raporku. Dia tersenyum bangga.

“Harus pertahankan prestasi. Nanti, Mak buatkan kue bingkhang kesukaanmu,” kata Mak sambil merapikan kayu bakar.

***

Malam merangkak naik menuju puncak. Sinar bulan menerabas masuk lewat atap rumbia rumah kami. Aku tak bisa memejamkan mata. Kulihat Mak tertidur pulas. Dia terlalu letih hari ini. Selama ini Mak Saleha kupikir benar-benar orang tuaku. Setiap kali mengambil rapor SD sampai SMP dia selalu menyimpan rapor di lemari. Mak hanya mengatakan bahwa nilaiku baik dan harus dipertahankan.

Hari ini aku baru sadar, bahwa aku bukanlah anak Mak Saleha. Ibuku Yuna. Entah dimana wanita itu dan mengapa aku bisa telantar di sini. Mak terbangun dari tidurnya. Lalu, mengambil segelas air di meja samping tempat tidur.

“Kenapa belum tidur? Hayo, cerita sama Mak.”

“Mak...gini...aduh...gimana ya memulainya.”

“Mulai saja cerita. Mak siap membantu kamu, Dara”

“Tapi,  jangan marah?”

Sejurus kami terdiam. Mak menatapku dalam-dalam. Aku mulai bertanya siapa aku sebenarnya. Lalu, siapa Yuna? Mengapa nama ayahku tidak ada di kolom rapor? Mak terdiam. Wajahnya terlihat gelisah. Bingung.

“Mengapa Mak bohong selama ini?”

“Aku tak mau kamu tahu sebenarnya Dara. Sudah puluhan tahun kusimpan rahasia ini. Cukup Mak saja yang tahu?” Mata tua itu mulai mengeluarkan air. Menetes perlahan membasahi pipi keriput. Mak mengatur nafasnya.

***       

Dulu, aku dan Makmu adalah tenaga kerja wanita (TKW) di Timur Tengah. Ibumu bernama Yuna. Ayahmu, aku sendiri tidak tahu siapa namanya. Yuna bekerja sebagai pencuci pakaian di salah satu asrama milik perusahaan swasta di sana. Gajinya lumayan, Rp 5 juta per bulan, ditambah bonus dan tunjangan lembur. Ibumu wanita yang baik. Rajin ibadah, dan sangat mencintai kakek dan nenekmu. Semua uang yang dihasilkannya dikirim ke kampung. Tujuannya, agar kakek dan nenekmu tidak perlu menggarap sawah dan beternak seperti petani kebanyakan. Waktu itu kami satu tempat kos di sana.

 Di suatu pagi, Ibumu datang mencuci pakaian di tempat kerjanya. Saat itulah peristiwa itu terjadi. Ibumu diperkosa oleh puluhan pria yang menginap di situ. Ibumu pingsan. Tidak sadarkan diri tiga hari. Sembilan bulan kemudian, ibumu melahirkan di salah satu rumah sakit di sana. Dia tidak mau pulang kampung. Malu.

 Lalu, ketika usiamu setahun, aku dan ibumu sepakat pulang ke Indonesia. Kami pulang menggunakan boat ala kadar. Kami pendatang haram di Timur Tengah. Dalam perjalanan, kapal kami karam. 20 penumpang tenggelam. Ibumu salah satunya. Tidak ditemukan jenazahnya hingga kini. Sedangkan aku berhasil menyelamatkanmu. Sejak saat itu kuputuskan untuk menganggapmu anakku.

Aku bahkan tak tahu dimana alamat keluarga Ibumu di Pulau Jawa sana. Kuputuskan membawamu kemari. Ke desa ini. Seluruh warga kampung mencaciku. Menghujat dengan kata tak senonoh. Mereka mengira aku melacurkan diri dan pulang bawa anak jaddah. Kuacuhkan semua tuduhan itu. Bahkan, sampai kini, aku tak menikah, tak ada yang mau denganku. Mereka menganggap aku hina, tanpa tahu cerita sebenarnya.

Sakit memang. Meski begitu, aku tetap tabah. Bagiku, kamu amanah terindah yang dititipkan Tuhan. Aku harus merawatmu hingga dewasa. Tidak ada maksud untuk menipumu Dara. Aku terdiam. Mak juga diam. Kami lalu menangis.

Aku terpukul mengetahui takdirku. Ibuku entah dimana, ayahku entah siapa? Hidup memang penuh dinamika. Tak bisa diprediksi takdir Ilahi. Penuh teka-teki. Kurenungi takdir ini.

Aku ini anak jaddah dari lelaki bedebah. Namun, tak berguna mengumpat amarah, karena hidup penuh hikmah. Kini, aku bertahan, di lorong sunyi hati. Membenahi mental sejati, menyiapkan hidup yang terus berlanjut nanti. Aku anak seribu ayah.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger