BULAN madu ini begitu indah. Aku baru saja menikah sepekan lalu. Kini,
memasuki Minggu kedua. Aku bersama istri menghabiskan bulan madu di
areal perkebunan milik mertua. Menanam padi pagi hari, dan membawa sapi
pulang ke kandang saat senja mulai temaram.
Semua berlangsung normal. Indah. Mertuaku melarang aku bekerja di Minggu awal kami menikah. Katanya, dia ingin miliki cucu dari kami sesegera mungkin. Minggu kedua ini, aku mulai bekerja. Membawa becak motor. Becak itu kusewa dari Apa Leman, pengusaha becak di kota ini.
Perjanjian dengan Apa Leman, jumlah uang yang kuperoleh dibagi tiga, dua bagian buatku, satu bagian buat si pemilik becak. Jika beruntung, aku bisa mendapatkan Rp 50.000 per hari. Jika tidak, aku hanya mendapatkan Rp 20.000 per hari. Semakin hari, jumlah pemilik sepedamotor semakin banyak di kota ini. Sehingga, jasa tukang becak sepertiku mulai kurang diperlukan.
Hari ini, hari pertama kukendarai becak setelah menikah. Pekan depan hari meugang telah tiba. Aku harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk membeli daging meugang. Mertuaku mengatakan agar aku membeli daging sapi minimal tiga kilogram dan maksimal sebuah kepala sapi. Untuk membeli daging sebanyak itu, aku harus bekerja ekstra. Harga sapi setiap musim meugang biasanya mencapai Rp 125.000 per kilogram. Untuk mendapatkan sekilo daging saja, aku harus bekerja dua hari lebih. Waktuku masih cukup. Enam hari menarik becak, aku harus bisa mengumpulkan tiga kilogram daging sapi.
“Jangan buat malu Abu. Kamu itu meugang pertama di rumah ini. Sudah seharusnya membawa daging. Ini tradisi kita,” sebut Abu.
“Ya Abang. Jangan sampai kita malu. Abang harus mendapatkan uang sebanyak mungkin, untuk acara adat meugang nanti. Jika kita tak sanggup beli kepala sapi, maka lebih baik kita beli tiga kilo daging sapi. Ambil yang minimal saja,” sebut istriku.
Kalimat kedua orang itu selalu menggema di otakku. Setiap kali aku menunggu penumpang di Simpang Lima, kalimat itu selalu terdengar. Meugang bukan hanya menyambut Ramadhan. Meugang ternyata ajang pembuktian lelaki perkasa.
***
HARI ini kutemui Apa Leman. Aku berharap dia meringankan setoran uang becak. Lebih baik lagi, jika dia meminjamkan uang padaku. Ya, tak usah banyak. Cukup Rp 600.000. Buat tiga kilo daging sapi plus bumbunya. Apa Leman terlihat sibuk di bengkel depan rumahnya.
“Ucok, apa kabar? Cepat sekali pulang narik becak? Kamu bukan lajang lagi. Harus rajin kerja, biar bisa bawa uang buat istri,” ujar Apa Leman menyambutku sambil tersenyum. Dia berhenti memperbaiki sebuah mesin becak. Memberikanku segelas teh dingin dan sebatang kretek.
“Duduklah. Minum dulu. Kau pasti capek,” sebut Apa Leman, dengan logat Batak bercampur Aceh. Menimbulkan kelucuan tersendiri.
Sejurus aku terdiam. Menikmati teh dingin dan kretek yang mengepulkan asap. Kuceritakan niatku kedatanganku pada Apa Leman. Dia tampak serius mendengarkan. Jidatnya mengkerut. Berpikir keras, mencari solusi buatku.
“Berat memang Ucok. Adat susah buat dirubah. Sudah turun temurun. Soal daging meugang itu, nanti aku bisa bantu satu kilogram. Jika lebih, aku tak mampu juga. Kau taulah, anakku tiga kuliah di Jawa. Jadi, uang tak bisa kupinjamkan padamu,” jawab Apa Leman serius. Pria paruh baya ini dikenal baik. Jika ada uang, dia pasti membantu. Mungkin, dia juga sedang tak punya uang. Sehinngga, aku tak bisa meminjam uang.
***
SENJA mulai hilang. Hitam membalut malam. Aku dan istri duduk santai di teras rumah mertua. Angin berhembus mendinginkan tubuh yang terpanggang siang tadi oleh mentari.
“Apakah udah ada uang buat meugang Abang?” tanya istriku
“Sudah ada buat sekilo daging. Dua kilo lagi sedang Abang usahakan. Penumpang sepi sekali akhir-akhir ini.”
“Jika memang tidak ada uang, lebih baik, cincin kawin kita jual. Kasihan juga Abang harus bekerja siang dan malam, hanya demi daging meugang,” usul istriku.
Aku tak setuju usul itu. Itu mas kawin kami. Sepahit apa pun hidup ini, emas itu tak boleh berpindah tangan. Harus tetap di jari manis istriku.
“Tenang saja, besok masih ada waktu sehari lagi buat cari uang. Semoga bisa cukup untuk beli daging. Jika perlu kepala sapi kita beli. Biar ayah dan umi bangga mendapatkan menantu yang patuh pada adat,” sebutku memberi semangat istri. Kutahu dia khawatir aku jatuh sakit. Namun, apa pun ceritanya, aku akan mendapatkan daging itu.
***
USAI subuh aku langsung menuju pasar. Hari ini, aku bertekad menjadi buruh bongkar-muat barang di pasar pagi. Mengangkat beras, kebutuhan sembilan bahan pokok lainnya, sayuran dan lain-lain. Siang hari, aku berencana menarik becak. Ini satu-satunya cara mencari uang daging meugang.
Menjelang siang, aku sudah mendapatkan uang sekitar Rp 150.000. Ditambah uang yang diberi Apa Leman sebanyak Rp 125.000. Sore nanti, aku yakin, uang ku sudah cukup membeli daging. Besok sudah meugang. Kubawa becak keliling kota. Mesin becakku sudah sangat panas. Tidak berhenti seharian.
Bahkan malam ini aku berencana tak pulang ke rumah. Aku menarik becak hingga pagi di terminal pusat kota. Istriku sudah kuberitahu. Aku tak ingin dia malu pada keluarganya. Mendapatkan suami tak berdaya memenuhi kebutuhan jelang ramadhan.
Jam berdetak tiga kali. Pukul 03.00 WIB dinihari. Mataku mulai mengantuk. Uang di saku sudah mencukupi. “Sudah Cok, pulang sajalah. Nanti sakit. Kamu baru menikah, anak belum punya. Tidak usah bekerja terlalu berat. Nanti cepat tua,” sebut Bang Husen, koordinator becak terminal kota.
“Satu lagi saja Bang. Lagi perlu buat meugang. Setelah antar satu sewa lagi, aku langsung pulang,” jawabku.
Gerimis mulai turun membasahi jalan. Angin bertiup pelan. Tempias hujan membasahi wajahku. Aku berteduh alakadar di balik pos mangkal becak. Kupasang plastik di badan becak. Jika pun ada penumpang, dia pasti tidak basah.
Mobil dari Medan tiba di terminal kota. Bang Husen menyuruhku mengantarkan sewa. Seorang remaja, yang kuliah di provinsi tetangga. “Hati-hati linto baroe. Jangan kebut-kebutan,” teriak Bang Husen, dan kubalas dengan senyuman. Hujan semakin deras. Penumpang itu berkata harus segera tiba di rumah. Dia takut sendirian di becak. Hujan disertai petir terus menyapa. Kugas becak motorku semakin kencang. Mataku tak melihat lubang, sementara dari arah berlawanan sebuah minibus datang dengan cepat. Bruk...tabrakan. Tubuhku terasa ringan. Mataku tertutup rapat, tubuhku penuh darah. Aku terbaring disamping tubuh ramping penumpangku. Tubuhnya diam tak tergerak. Aku tak bisa merasakan dingin, aku tak bisa merasakan sakit. Alamku telah berbeda.
Semua berlangsung normal. Indah. Mertuaku melarang aku bekerja di Minggu awal kami menikah. Katanya, dia ingin miliki cucu dari kami sesegera mungkin. Minggu kedua ini, aku mulai bekerja. Membawa becak motor. Becak itu kusewa dari Apa Leman, pengusaha becak di kota ini.
Perjanjian dengan Apa Leman, jumlah uang yang kuperoleh dibagi tiga, dua bagian buatku, satu bagian buat si pemilik becak. Jika beruntung, aku bisa mendapatkan Rp 50.000 per hari. Jika tidak, aku hanya mendapatkan Rp 20.000 per hari. Semakin hari, jumlah pemilik sepedamotor semakin banyak di kota ini. Sehingga, jasa tukang becak sepertiku mulai kurang diperlukan.
Hari ini, hari pertama kukendarai becak setelah menikah. Pekan depan hari meugang telah tiba. Aku harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk membeli daging meugang. Mertuaku mengatakan agar aku membeli daging sapi minimal tiga kilogram dan maksimal sebuah kepala sapi. Untuk membeli daging sebanyak itu, aku harus bekerja ekstra. Harga sapi setiap musim meugang biasanya mencapai Rp 125.000 per kilogram. Untuk mendapatkan sekilo daging saja, aku harus bekerja dua hari lebih. Waktuku masih cukup. Enam hari menarik becak, aku harus bisa mengumpulkan tiga kilogram daging sapi.
“Jangan buat malu Abu. Kamu itu meugang pertama di rumah ini. Sudah seharusnya membawa daging. Ini tradisi kita,” sebut Abu.
“Ya Abang. Jangan sampai kita malu. Abang harus mendapatkan uang sebanyak mungkin, untuk acara adat meugang nanti. Jika kita tak sanggup beli kepala sapi, maka lebih baik kita beli tiga kilo daging sapi. Ambil yang minimal saja,” sebut istriku.
Kalimat kedua orang itu selalu menggema di otakku. Setiap kali aku menunggu penumpang di Simpang Lima, kalimat itu selalu terdengar. Meugang bukan hanya menyambut Ramadhan. Meugang ternyata ajang pembuktian lelaki perkasa.
***
HARI ini kutemui Apa Leman. Aku berharap dia meringankan setoran uang becak. Lebih baik lagi, jika dia meminjamkan uang padaku. Ya, tak usah banyak. Cukup Rp 600.000. Buat tiga kilo daging sapi plus bumbunya. Apa Leman terlihat sibuk di bengkel depan rumahnya.
“Ucok, apa kabar? Cepat sekali pulang narik becak? Kamu bukan lajang lagi. Harus rajin kerja, biar bisa bawa uang buat istri,” ujar Apa Leman menyambutku sambil tersenyum. Dia berhenti memperbaiki sebuah mesin becak. Memberikanku segelas teh dingin dan sebatang kretek.
“Duduklah. Minum dulu. Kau pasti capek,” sebut Apa Leman, dengan logat Batak bercampur Aceh. Menimbulkan kelucuan tersendiri.
Sejurus aku terdiam. Menikmati teh dingin dan kretek yang mengepulkan asap. Kuceritakan niatku kedatanganku pada Apa Leman. Dia tampak serius mendengarkan. Jidatnya mengkerut. Berpikir keras, mencari solusi buatku.
“Berat memang Ucok. Adat susah buat dirubah. Sudah turun temurun. Soal daging meugang itu, nanti aku bisa bantu satu kilogram. Jika lebih, aku tak mampu juga. Kau taulah, anakku tiga kuliah di Jawa. Jadi, uang tak bisa kupinjamkan padamu,” jawab Apa Leman serius. Pria paruh baya ini dikenal baik. Jika ada uang, dia pasti membantu. Mungkin, dia juga sedang tak punya uang. Sehinngga, aku tak bisa meminjam uang.
***
SENJA mulai hilang. Hitam membalut malam. Aku dan istri duduk santai di teras rumah mertua. Angin berhembus mendinginkan tubuh yang terpanggang siang tadi oleh mentari.
“Apakah udah ada uang buat meugang Abang?” tanya istriku
“Sudah ada buat sekilo daging. Dua kilo lagi sedang Abang usahakan. Penumpang sepi sekali akhir-akhir ini.”
“Jika memang tidak ada uang, lebih baik, cincin kawin kita jual. Kasihan juga Abang harus bekerja siang dan malam, hanya demi daging meugang,” usul istriku.
Aku tak setuju usul itu. Itu mas kawin kami. Sepahit apa pun hidup ini, emas itu tak boleh berpindah tangan. Harus tetap di jari manis istriku.
“Tenang saja, besok masih ada waktu sehari lagi buat cari uang. Semoga bisa cukup untuk beli daging. Jika perlu kepala sapi kita beli. Biar ayah dan umi bangga mendapatkan menantu yang patuh pada adat,” sebutku memberi semangat istri. Kutahu dia khawatir aku jatuh sakit. Namun, apa pun ceritanya, aku akan mendapatkan daging itu.
***
USAI subuh aku langsung menuju pasar. Hari ini, aku bertekad menjadi buruh bongkar-muat barang di pasar pagi. Mengangkat beras, kebutuhan sembilan bahan pokok lainnya, sayuran dan lain-lain. Siang hari, aku berencana menarik becak. Ini satu-satunya cara mencari uang daging meugang.
Menjelang siang, aku sudah mendapatkan uang sekitar Rp 150.000. Ditambah uang yang diberi Apa Leman sebanyak Rp 125.000. Sore nanti, aku yakin, uang ku sudah cukup membeli daging. Besok sudah meugang. Kubawa becak keliling kota. Mesin becakku sudah sangat panas. Tidak berhenti seharian.
Bahkan malam ini aku berencana tak pulang ke rumah. Aku menarik becak hingga pagi di terminal pusat kota. Istriku sudah kuberitahu. Aku tak ingin dia malu pada keluarganya. Mendapatkan suami tak berdaya memenuhi kebutuhan jelang ramadhan.
Jam berdetak tiga kali. Pukul 03.00 WIB dinihari. Mataku mulai mengantuk. Uang di saku sudah mencukupi. “Sudah Cok, pulang sajalah. Nanti sakit. Kamu baru menikah, anak belum punya. Tidak usah bekerja terlalu berat. Nanti cepat tua,” sebut Bang Husen, koordinator becak terminal kota.
“Satu lagi saja Bang. Lagi perlu buat meugang. Setelah antar satu sewa lagi, aku langsung pulang,” jawabku.
Gerimis mulai turun membasahi jalan. Angin bertiup pelan. Tempias hujan membasahi wajahku. Aku berteduh alakadar di balik pos mangkal becak. Kupasang plastik di badan becak. Jika pun ada penumpang, dia pasti tidak basah.
Mobil dari Medan tiba di terminal kota. Bang Husen menyuruhku mengantarkan sewa. Seorang remaja, yang kuliah di provinsi tetangga. “Hati-hati linto baroe. Jangan kebut-kebutan,” teriak Bang Husen, dan kubalas dengan senyuman. Hujan semakin deras. Penumpang itu berkata harus segera tiba di rumah. Dia takut sendirian di becak. Hujan disertai petir terus menyapa. Kugas becak motorku semakin kencang. Mataku tak melihat lubang, sementara dari arah berlawanan sebuah minibus datang dengan cepat. Bruk...tabrakan. Tubuhku terasa ringan. Mataku tertutup rapat, tubuhku penuh darah. Aku terbaring disamping tubuh ramping penumpangku. Tubuhnya diam tak tergerak. Aku tak bisa merasakan dingin, aku tak bisa merasakan sakit. Alamku telah berbeda.
Lhokseumawe, 29 Juli 2012/Serambi Indonesia.
Post a Comment