Cerpen
: Masriadi Sambo
Penikmat Sastra. Menetap di
Lhokseumawe
SENIN, 12 Januari 2012. Aku bergegas ke
luar rumah. Memasukkan seluruh peralatan yang dibutuhkan buat persalinan istri
ke dalam mobil. Ini anak kelima kami. Istriku terlihat meringis menahan nyeri. Wajahnya
memerah. Meski begitu dia berusaha santai dan tersenyum. Dia ingin melahirkan
di klinik saja. Tidak mahu di rumah sakit. Dia khawatir, rumah sakit akan
menawarkan operasi caesar. Persalinan normal menjadi pilihan istriku.
Secara
urutan, ini anak kelima kami. Anak pertama kami keguguran pada usia tiga bulan
dalam kandungan. Anak kedua, keguguran pada usia kelima bulan dalam kandungan.
Anak ketiga dan keempat keguguran pada usia tujuh bulan dalam kandungan. Aku
dan istri menikah pada usia 25 tahun.
Kata ibuku, usia yang pas buat menikah.
Empat
orang calon bayi kami telah pergi ke surga. Menanti aku dan istri. Kata sabar
tak cukup untuk membuat Istriku tegar menghadapi cobaan hidup. Selama setahun
dia hanya mengurung diri di kamar. Melaksanakan salat dan mengaji. Bahkan,
untuk makan pun dia tak mau keluar kamar. Makanan selalu diantar ke kamar. Dia
ingin menyendiri. Katanya, di kamar itu selalu ada empat wajah kecil temannya
bermain.
“Itu wajah anak kita Abang. Mereka menemaniku bermain sepanjang hari.
Aku tak ingin keluar rumah. Jika pun kantor memecatku, pecat saja,” ujarnya
tegas.
Matanya
berkaca-kaca. Perlahan bulingan jernih mengalir di pipi. Aku hanya tersenyum.
Mencoba membuat dia tegar. Bahwa Tuhan telah mengukur cobaan yang diberikan pada umatnya. Bahwa Tuhan
menjanjikan hikmah dibalik setiap musibah.
Ibu
mertuaku menyarankan agar kami mendatangi psiakiater. Dia menduga, kejiwaan
istriku terganggu. Kupenuhi saran itu. Namun, istriku menolak keras.
“Memangnya
aku sudah gila. Aku masih bisa mengaji, masih bisa berpikir jernih. Masih bisa
salat. Apa Abang tidak mendengar, aku masih fasih membaca Quran. Aku tidak
gila,” ketusnya.
“Ya,
bukan gila. Kita hanya curhat saja. Biar beban didada lega tak menumpuk sekeras
batu dan akhirnya menjadi penyakit dalam jiwa. Anggap saja psiater itu teman
kita juga,” kataku.
“Tidak.
Jika Abang mau pergi. Pergilah sendiri. Aku tidak ikut.”
Dia
terdiam. Mematung di depan cermin. Lalu menoleh ke kiri dan kanan. Sesekali dia
tersenyum. “Hus...jangan berantam. Nanti Umi marah,” ujarnya sambil meletakkan jari
telunjuk dibibir. Seolah-olah dia berbicara pada beberapa anak yang sedang
berantam. Aku hanya terdiam. Tak bisa berbuat apa-apa. Dadaku bergemuruh.
Bingung dan kalut. Cobaan apa lagi ini?
***
Seiring
perjalanan waktu. Kondisinya semakin membaik. Istriku mulai keluar dari kamar.
Aku lega melihat perubahan itu. Perlahan dia juga mulai berinteraksi dengan
tetangga. Bekerja di kantornya, dan menyiram Bogenvil di teras rumah saban
senja menyapa.
Hari ini, kami menuju salah satu
klinik persalinan terbaik di kota ini. Bidan yang menangani persalinan istriku
merupakan bidan terbaik dan pernah beberapa kali meraih penghargaan dari
pemerintah provinsi sebagai bidan teladan dan terbaik di kota ini. Menurut
bidan, anak dalam kandungan istriku dalam kondisi sehat. Diperkirakan akan
melahirkan sekitar pukul 18.00 WIB.
“Sekarang
Bapak berdoa saja. Semoga kali ini, Tuhan memberikan amanah pada bapak. Amanah
anak yang sehat, cerdas, baik dan bisa membanggakan kedua orang tuanya,” kata
Bu Bidan.
Setelah
mengantarkan istri ke ruang persalinan. Dua asisten bidan itu menjaganya dengan
seksama. Sesekali memeriksa rahimnya. Istriku mulai meringis kesakitan. Keringat
dingin membuncah di sekujur tubuh. Mengucur deras. Dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Kuserahkan diri pada Tuhan. Bersimpuh dalam sujud yang dalam.
Berharap agar kali ini kami mendapatkan bayi. Bayi penerus generasi membawa
perubahan untuk negeri ini.
Sekitar
sepuluh menit kemudian. Aku mendengar jerit bayi dari ruang persalinan.
Alhamdulillah Tuhan. Engkau mengabulkan do’aku. Namun, bidan senior keluar dari
ruangan dengan wajah murung. Tak ada senyum menghias bibir seperti diawal
perjumpaan kami.
“Bapak
sabar ya. Tuhan masih memberikan cobaan. Semua ini ada hikmahnya. Teguhkan
istri bapak,” kata bidan itu sambil menepuk pundakku. Kupercepat langkah menuju
ruang persalinan. Istriku terbaring lemah. Dua buling jernih menetes di pipi.
“Anak
kita cedera Abang,” katanya sambil melihat ke arah kanan, tempat anakku
terbaring lemah. Perut bayiku seperti plastik putih transfaran. Usus, jantung
dan segala isi perutnya terlihat jelas dari luar. Saat itu juga kubawa dia ke
rumah sakit terbaik di kota ini. Aku ingin dia selamat. Apa pun takdirnya, dia
adalah putraku. Anak kelima kami.
***
Dokter
menyatakan anakku digerogoti oleh empat virus sejak dalam kandungan. Empat
virus itu toxoplasma,rubella,CMV, dan herpes (Torch). Virus ini menghancurkan
sel telur. Virus itu dinyatakan sebagai penyebab keguguran kandungan yang
dialami istriku. Virus pembunuh bayi kami. Tiga hari sudah anakku di ruang
persalinan. Dia harus dimasukkan dalam inkubator. Hari kelima, selepas Subuh
aku tak mendengar tangisannya. Hanya terdengar suara hujan dan desau angin.
Anak kelimaku telah pergi ke surga, menyusul abang dan kakaknya. Aku tak bisa
berpikir. Aku hanya tersenyum, tertawa dan sesekali menangis.
“Tuhan
begitu kejam,” teriakku.
Seluruh
perawat rumah sakit mencoba menenangkan. Ibuku, ibu mertua, dan seluruh kakak
ipar menenangkanku. Aku tak bisa berpikir lagi. Ini kutukan, bukan ujian. Sejak
saat itu, aku tak tahu siapa diriku. Keluarga membawaku ke rumah sakit jiwa.
Mengenakan seragam hijau setiap hari dengan nomor tujuh di depan baju. Tertawa
bersama seluruh teman sesama penghuni rumah sakit. Terkadang kami menggelar
lomba tawa dan lomba nangis.
Sesekali
istriku datang menjenguk. Mencoba mengingatkanku pada pekerjaanku, perusahaan
mebelku, pada karyawanku, pada cita-citaku untuk menghajikan ibu dan mertua.
Aku bahkan tak mengenal dia. Aku menganggap dia hanya sebagai dokter yang rajin
memberikan nasihat dan obat penenang.
“Abang, ini aku istrimu, Lola.
Abang, ingat tidak, dulu kita ke air terjun di Lampung, Aceh, Sumatera Utara,
dan lainnya. Katamu, air terjun membawa pesan keteguhan hati. Membawa
ketenangan dalam raga, dan terpenting bisa menghadirkan ide-ide baru untuk
produk usaha mebel kita,” kata istriku perlahan. Ditangannya kulihat sejumlah
foto wajahku bersamanya di sejumlah lokasi air terjun. Namun, aku tak
mengenalnya.
“Aku tidak mengenal kamu. Pergilah.”
Istriku datang setiap Jumat selama
setahun ke rumah sakit ini. Setiap berkunjung dia mengenakan pakaian warna
biru. Katanya, itu warna kesukaanku. Biru melambangkan keteduhan. Setiap
datang, dia membawa benda-benda yang kusukai seperti stik drum, gitar, dan
miniatur Borobudur. Katanya, dulu,kami bertemu pertama kali di candi itu.
Dia
selalu tersenyum. Mencoba mengingatkan ku pada seluruh kisah yang telah
teruntai dalam sejarah hidup ini.
***
Azan
subuh hari itu terdengar berbeda. Aku bisa mengikuti lafat azan dari meunasah (tempat ibadah) di ujung lorong
kamarku. Kubangunkan teman di sampingku. Dia hanya menggeliat. Lalu tersenyum
dan mengatakan masih mengantuk. Aku baru sadar, kamar ini berbentuk seperti
penjara. Teralis besi kokoh di kiri-kanan, depan dan belakang. Aku di rumah
sakit jiwa. Di depan kamarku tertulis jelas, kamar pasien laki-laki RSJ Banda
Aceh.
Aku
berteriak membangukan perawat jaga. Meminta untuk diantar ke meunasah (surau tempat ibadah). Petugas jaga bingung. Dia hanya
mengikuti kemauanku. Salat subuh itu begitu aneh. Hanya ada beberapa perawat,
imam dan aku. Tidak seperti di kampungku. Sekitar 100 warga selalu menunaikan salat
Subuh berjamaah.
***
Istriku
datang menjemput. Dokter menyatakan aku telah sembuh. Tidak gila lagi. Antara yakin
dan tidak dia membawaku ke rumah. Dia menangis sesenggukkan sambil memelukku.
Cobaan datang dan pergi tanpa diundang. Waktu terus berputar mengikuti
peradaban manusia. Hari ini, aku kembali mengantarkan istri ke klinik bersalin.
Dia sangat tegar. Ini anak keenam kami. Tidak terlihat bekas trauma melahirkan
di wajahnya. Senyum tipis mengulas di pipi, seakan menyatakan bahwa dia siap
menghadapi persalinan keenam ini.
Sejam
di ruangan persalinan, terdengar suara bayi begitu keras. Saling bersahutan.
Alhamdulillah. Tuhan memberikanku empat anak sekaligus. Dua laki-laki dan dua
perempuan. Mereka kembar.
Post a Comment