SETIAP kali mau menulis sastra (cerpen,cerbung,dan novel)
selalu dikerjakan sembari mengerjakan tulisan jenis. Ketika ide sedang mengalir
deras di otak, tangan sedang gencar menggempur keyboard, terpaksa berhenti dan
harus mengerjakan tulisan jenis lain.
Sangat
susah mengembalikan ide yang hilang itu ke pakem awalnya. Saya harus
mengingat-ingat kembali tadi ide awalnya bagaimana, konfliknya apa, lalu
endingnya bagaimana. Ah, ini kebiasaan yang buruk.
Kondisi
ini jauh lebih baik dibanding dua tahun lalu. Tahun 2010-2012 saya praktis tak
menulis sastra. Waktu terlalu sempit. Terkesan sok sibuk sehingga tak punya
waktu menulis. Kini, mulai menulis sastra lagi. Sesekali jika selesai
mengirimkannya ke beberapa media. Jika dibuat syukur, jika tidak, perbaiki
lagi, lalu kirim lagi.
Seorang
teman bilang, jangan ada naskah yang sia-sia. Semuanya harus bisa dinikmati
oleh pembaca. Aku sepakat dengan pendapat ini. Terlepas penilaian baik atau
buruk naskah itu. Terpenting, pembaca bisa menikmati tulisan tersebut.
Apa
pun komentar pembaca terhadap tulisanmu, itu hak mereka. Bisa jadi mereka
tertawa bahagia, bisa pula mengutuk plus mengeluarkan sumpah serapah.
Menganggap karyamu basi, kacangan dan tak professional. Itu hak mereka. Tak
usah mengeluarkan air mata, lalu berkicau di jejaring sosial tentang kesedihan
dan menumpahkan kata-kata galau di layar jejaring sosial. Nikmati saja proses
kreatif ini.
Toh,
orang yang mengutuk karyamu itu belum tentu bisa menulis seindah kamu.Sama
seperti penonton sepak bola, selalu memaki pemain jika salah umpan dan lain
sebagainya. Coba sipenonton itu main bola. Lima menit main, nafasnya tersengal-sengal. Syukur jika
masih punya nafas.
Ya,
sekarang saya coba memperbaiki kebiasaan buruk ini. Punya niat untuk menulis
setelah pulang kerja di rumah. Namun, tayangan sejumlah film action (laga dan
perang) selalu menggoda. Ketika sampai rumah, agenda hanya nonton film action. Ya, satu waktu, semoga memiliki waktu yang
tenang buat menulis sastra. Entah kapan waktu itu tiba?
Post a Comment