Oleh: Riduan Situmorang.
Sebelum memulai tulisan ini, saya sepakat dengan
pembaca lain, cerpen Masriadi Sambo yang dimuat di harian ini pada 10 November
2013 lalu sangat menyentuh dan sangat fenomenal. Saya katakan sangat menyentuh,
karena memang esensi cerita yang dibawakan sepertinya benar-benar berasal dari
kenyataan dan memang begitulah seharusnya cerpen. Apalagi isi dan esensi cerpen
ini hampir sama dengan berita tertangkapnya Akil Mochtar baru-baru ini.
Saya rasa kita semua sepakat, kehadiran cerita
fiksi, bukan semata untuk menghibur, melainkan cerita fiksi itu hadir sebagai
evaluasi zaman. Boleh dibilang, cerita fiksi, sebagai kritikus zaman. Untuk
mengkritik serta mengevaluasi zamanlah, sebenarnya para sastrawan hadir. Bukan
malah meruwetkan keadaan.
Misalnya saja, apabila Lapangan Merdeka memang
peruntukannya sebagai cagar budaya, para seniman dan sastrawan harus
melindunginya dengan cara elegan dan diplomatis. Jika GSB yang telah
menggelontorkan dana sebanyak Rp1,5M saja, tetapi tidak meriah, malah, izinkan
saya meminjam istilah IDP pada Liriknya di harian ini pada 11 November lalu,
“GSB Sumut 2013 Berakhir tanpa Kesan”. Para seniman harus mengevaluasinya serta
tidak mengulanginya pada masa-masa mendatang. Ingat, para politsi bisa saja
lebih dungu daripada kedelai, tetapi para seniman dan sastrawan harus lebih
bijaksana daripada kedelai.
Dengan begitu, seniman dan sastrawan harus berada
pada pihak manusia yang termarjinalkan. Seniman dan sastrawan juga harus
proaktif dalam mendukung perbaikan kehidupan. Singkatnya, seniman dan sastrawan
itu harus idealis.
Dugaan Kita Salah
Kembali ke cerpen ini, harus kita akui, Masriadi
Sambo tampak begitu lihai menceritakan lakon para tokohnya. Kita benar-benar
seakan tidak menduga kalau pada akhirnya si tokoh aku ditangkap oleh KPK. Dari
judulnya, Kursi Terakhir, kita menduga sekdalah sebenarnya kursi terakhirnya.
Bukan karena ditangkap KPK, melainkan karena termakan usia melalui pensiun.
Hal itu masuk akal karena penulis menyebutkan, dia
akan pensiun dalam waktu dekat, dua tahun lagi. Mari, kita perhatikan kutipan
ini, Aku tak menjawab. Ajudanku menelpon, menye butkan di kantor ada kontraktor
menungguku. Hatiku gelisah. Peluh menetes di tubuh. Dadaku sesak. Ini perbuatan
haram. Meski begitu, kubulatkan tekad, menolak pemberian uang itu. Jika pun aku
diberhentikan oleh wali kota, aku ikhlas. Sekda adalah kursi terakhirku. Dua
tahun lagi aku pensiun. Biarlah aku pensiun dengan tenang.
Dari kutipan di atas, kita dapat berprasangka, si
tokoh aku, pada akhirnya mulai menyerah, tetapi dia tetap tegar. Setidaknya dia
hampir memastikan, ini menjadi kursi terakhirnya. Setelah itu dia akan pensiun
dengan senang, tanpa ada hambatan secara politis dan psikologis.
Karena itu, kita memastikan, si tokoh aku akan
menghardik para calo tender nantinya di kantor. Dia berani melakukan itu karena
memang ini bukan lagi saatnya bagi dia untuk berkampanye dan mencari muka.
Baginya sekarang yang penting, bekerja dengan hati. Tidak ada politik
pencitraan seperti yang akhir-akhir ini marak kita temukan. Apalagi kebetulan
pada saat itu walikota dan wakil walikota sebagai atasannya, sedang berada di
luar kota. Ingat, si tokoh aku berani mengambil keputusan secara nurani bila
saja atasannya tidak sedang di kantor karena kebetulan si tokoh aku penurut
pada atasan.
Mari kita simak kutipan berikut, kulaporkan semua
hasil rapat ke wali kota. Wali kota terdiam sejenak, menyeka kening. Tersenyum
dan mengiyakan proyek itu. “Tapi itu melanggar aturan Pak. Kita tak boleh
menerima fee apa pun,” jawabku. “Jika kita tak terima fee, bagaimana kita
memberikan bantuan uang untuk masyarakat yang datang ke rumah, masyarakat yang
datang ke kantor. Uangnya dari mana. Berharap gaji, tak cukup pak. Besok
pengesahan APBD,” tegas wali kota. Aku terdiam. Kesalahanku, aku tak berani
melawan atasan. Itu berlangsung sejak aku lulus sebagai PNS. Keluar dari ruang
wali kota, kubaca pesan singkat istriku. Meminta dibelikan mobil baru.
Tidak, dugaan kita salah. Pada akhirnya si tokoh
aku terjebak dan ditangkap KPK. Benar, kursi terakhir si tokoh aku, menjadi
sekda dan itu benar-benar sangat tragis dan dengan begitu dugaan awal kita
menjadi salah. Dengan kata lain, kita tidak bisa menduga kelanjutan cerpen ini
dan itu tentunya menjadi salah satu nilai plus. Lagi-lagi, kita harus mengutip
teks cerpen itu, Aku tiba di kantor pukul 12.00 WIB. Langsung menuju ruanganku.
Kulihat dua pria berbadan gempal menenteng dua kantong plastik merah. Kutaksir
itu uang suap yang akan diberikan. Kupersilakan mereka masuk. Baru kusandarkan
punggung di kursi tamu. Memesan minuman dingin pada sekretarisku. Sejurus
kemudian, terdengar suara gaduh di luar. Dua pria berbadan kurus masuk ke
ruangan. Memberikan selembar surat padaku. Perlahan sekitar 10 pria
terlihat masih muda, masuk ke ruangan. Mereka mengenakan rompi putih,
dibelakangnya tertulis KPK. Aku ditangkap. Langsung dibawa ke Jakarta. Dituduh
menerima suap. Barang bukti yang disita, Rp 1 miliar dari dua kantong plastik
besar. Tuhan, kuserahkan hidup dan matiku untukmu. Niatku menolak pemberian
itu. Aku tertangkap, menahan dingin di jeruji bawah tanah KPK. Tuhan,
kursi terakhirku, petaka buatku.
Tokoh Aku vs Akil Mochtar
Percayalah, cerpen ini menarik, karena cerpen ini
menguak kebenaran politik. Politik itu ternyata benar-benar kotor, tidak suci
seperti kamus John calvin dan Sabam Sirait. Jika John Calvin -teolog kristiani-
mengatakan orang yang terjun ke politik itu adalah orang suci, lantaran dia
akan memperjuangkan kehidupan bersama dan kepentingan bersama. Sekarang tidak
lagi. Justru, kalau orang yang suci masuk politik menjadi bulan-bulanan para
politikus kotor lainnya. Seperti si tokoh aku. Dia suci untuk berpolitik,
tetapi dia dibungkam pada konspirasi politik. Dia dijebak dan dituduh telah
menyalahgunakan wewenang.
Cerpen ini pun makin menarik karena kejadian yang
memang hampir serupa telah dipentaskan di arena perpolitikan kita baru-baru
ini, dengan tertangkap tangannya Akil Mochtar -sang penjaga gawang terakhir
Mahkamah Konstitusi- oleh KPK. Bedanya, kalau si tokoh aku memang benar-benar
mempraktikkan politik suci ala John Calvin, Akil Mochtar malah menyalahgunakan
terminologi politik suci itu.
Jika tokoh aku dijebak oleh walikota dan wakil
walikota di ruang kerjanya, Akil Mochtar malah menjebak dirinya sendiri di
rumahnya sendiri. Bedanya lagi, si tokoh aku dijebak pada saat jam kerja, Akil
Mochtar malah menjebak dirinya pada malam hari di kediamannya. Dengan begitu,
kita dapat menangkap pesan tersirat dari Masriadi bahwa Akil Mochtar memang
bukan politisi suci. Dia ditangkap bukan karena dijebak seperti si tokoh aku,
melainkan karena Akil Mochtar salah mengartikan kesucian politik itu.
Masriadi juga dengan telak mengungkapkan dan
membungkam mulut Akil Mochtar karena kebetulan Akil Mochtar pernah mengatakan,
sebenarnya dia dijebak oleh orang lain. Dengan membaca cerpen ini, kita
membuktikan, para koruptor selama ini bukan seperti si tokoh aku!
Penulis Peminat Sastra, Konselor
Pendidikan di Prosus Inten Medan, Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus
Inten Medan
Harian
Analisa 17 Nov 2013
Post a Comment