Mengupas Cerpen Kursi Terakhir

Sunday, December 22, 20130 comments

Oleh: Riduan Situmorang.

Sebelum memulai tulisan ini, saya sepakat dengan pembaca lain, cerpen Masriadi Sambo yang dimuat di harian ini pada 10 November 2013 lalu sangat menyentuh dan sangat fenomenal. Saya katakan sangat menyentuh, karena memang esensi cerita yang dibawakan sepertinya benar-benar berasal dari kenyataan dan memang begitulah seharusnya cerpen. Apalagi isi dan esensi cerpen ini hampir sama dengan berita tertangkapnya Akil Mochtar baru-baru ini.

Saya rasa kita semua sepakat, kehadiran cerita fiksi, bukan semata untuk menghibur, melainkan cerita fiksi itu hadir sebagai evaluasi zaman. Boleh dibilang, cerita fiksi, sebagai kritikus zaman. Untuk mengkritik serta mengevaluasi zamanlah, sebenarnya para sastrawan hadir. Bukan malah meruwetkan keadaan.

Misalnya saja, apabila Lapangan Merdeka memang peruntukannya sebagai cagar budaya, para seniman dan sastrawan harus melindunginya dengan cara elegan dan diplomatis. Jika GSB yang telah menggelontorkan dana sebanyak Rp1,5M saja, tetapi tidak meriah, malah, izinkan saya meminjam istilah IDP pada Liriknya di harian ini pada 11 November lalu, “GSB Sumut 2013 Berakhir tanpa Kesan”. Para seniman harus mengevaluasinya serta tidak mengulanginya pada masa-masa mendatang. Ingat, para politsi bisa saja lebih dungu daripada kedelai, tetapi para seniman dan sastrawan harus lebih bijaksana daripada kedelai.

Dengan begitu, seniman dan sastrawan harus berada pada pihak manusia yang termarjinalkan. Seniman dan sastrawan juga harus proaktif dalam mendukung perbaikan kehidupan. Singkatnya, seniman dan sastrawan itu harus idealis.

Dugaan Kita Salah
Kembali ke cerpen ini, harus kita akui, Masriadi Sambo tampak begitu lihai menceritakan lakon para tokohnya. Kita benar-benar seakan tidak menduga kalau pada akhirnya si tokoh aku ditangkap oleh KPK. Dari judulnya, Kursi Terakhir, kita menduga sekdalah sebenarnya kursi terakhirnya. Bukan karena ditangkap KPK, melainkan karena termakan usia melalui pensiun.

Hal itu masuk akal karena penulis menyebutkan, dia akan pensiun dalam waktu dekat, dua tahun lagi. Mari, kita perhatikan kutipan ini, Aku tak menjawab. Ajudanku menelpon, menye butkan di kantor ada kontraktor menungguku. Hatiku gelisah. Peluh menetes di tubuh. Dadaku sesak. Ini perbuatan haram. Meski begitu, kubulatkan tekad, menolak pemberian uang itu. Jika pun aku diberhentikan oleh wali kota, aku ikhlas. Sekda adalah kursi terakhirku. Dua tahun lagi aku pensiun. Biarlah aku pensiun dengan tenang.

Dari kutipan di atas, kita dapat berprasangka, si tokoh aku, pada akhirnya mulai menyerah, tetapi dia tetap tegar. Setidaknya dia hampir memastikan, ini menjadi kursi terakhirnya. Setelah itu dia akan pensiun dengan senang, tanpa ada hambatan secara politis dan psikologis.

Karena itu, kita memastikan, si tokoh aku akan menghardik para calo tender nantinya di kantor. Dia berani melakukan itu karena memang ini bukan lagi saatnya bagi dia untuk berkampanye dan mencari muka. Baginya sekarang yang penting, bekerja dengan hati. Tidak ada politik pencitraan seperti yang akhir-akhir ini marak kita temukan. Apalagi kebetulan pada saat itu walikota dan wakil walikota sebagai atasannya, sedang berada di luar kota. Ingat, si tokoh aku berani mengambil keputusan secara nurani bila saja atasannya tidak sedang di kantor karena kebetulan si tokoh aku penurut pada atasan.

Mari kita simak kutipan berikut, kulaporkan semua hasil rapat ke wali kota. Wali kota terdiam sejenak, menyeka kening. Tersenyum dan mengiyakan proyek itu. “Tapi itu melanggar aturan Pak. Kita tak boleh menerima fee apa pun,” jawabku. “Jika kita tak terima fee, bagaimana kita memberikan bantuan uang untuk masyarakat yang datang ke rumah, masyarakat yang datang ke kantor. Uangnya dari mana. Berharap gaji, tak cukup pak. Besok pengesahan APBD,” tegas wali kota. Aku terdiam. Kesalahanku, aku tak berani melawan atasan. Itu berlangsung sejak aku lulus sebagai PNS. Keluar dari ruang wali kota, kubaca pesan singkat istriku. Meminta dibelikan mobil baru.

Tidak, dugaan kita salah. Pada akhirnya si tokoh aku terjebak dan ditangkap KPK. Benar, kursi terakhir si tokoh aku, menjadi sekda dan itu benar-benar sangat tragis dan dengan begitu dugaan awal kita menjadi salah. Dengan kata lain, kita tidak bisa menduga kelanjutan cerpen ini dan itu tentunya menjadi salah satu nilai plus. Lagi-lagi, kita harus mengutip teks cerpen itu, Aku tiba di kantor pukul 12.00 WIB. Langsung menuju ruanganku. Kulihat dua pria berbadan gempal menenteng dua kantong plastik merah. Kutaksir itu uang suap yang akan diberikan. Kupersilakan mereka masuk. Baru kusandarkan punggung di kursi tamu. Memesan minuman dingin pada sekretarisku. Sejurus kemudian, terdengar suara gaduh di luar. Dua pria berbadan kurus masuk ke ruangan. Memberikan selembar surat padaku. Perlahan sekitar 10  pria terlihat masih muda, masuk ke ruangan. Mereka mengenakan rompi putih, dibelakangnya tertulis KPK. Aku ditangkap. Langsung dibawa ke Jakarta. Dituduh menerima suap. Barang bukti yang disita, Rp 1 miliar dari dua kantong plastik besar. Tuhan, kuserahkan hidup dan matiku untukmu. Niatku menolak pemberian itu. Aku tertangkap, menahan dingin di jeruji bawah tanah KPK.  Tuhan, kursi terakhirku, petaka buatku.

Tokoh Aku vs Akil Mochtar
Percayalah, cerpen ini menarik, karena cerpen ini menguak kebenaran politik. Politik itu ternyata benar-benar kotor, tidak suci seperti kamus John calvin dan Sabam Sirait. Jika John Calvin -teolog kristiani- mengatakan orang yang terjun ke politik itu adalah orang suci, lantaran dia akan memperjuangkan kehidupan bersama dan kepentingan bersama. Sekarang tidak lagi. Justru, kalau orang yang suci masuk politik menjadi bulan-bulanan para politikus kotor lainnya. Seperti si tokoh aku. Dia suci untuk berpolitik, tetapi dia dibungkam pada konspirasi politik. Dia dijebak dan dituduh telah menyalahgunakan wewenang.

Cerpen ini pun makin menarik karena kejadian yang memang hampir serupa telah dipentaskan di arena perpolitikan kita baru-baru ini, dengan tertangkap tangannya Akil Mochtar -sang penjaga gawang terakhir Mahkamah Konstitusi- oleh KPK. Bedanya, kalau si tokoh aku memang benar-benar mempraktikkan politik suci ala John Calvin, Akil Mochtar malah menyalahgunakan terminologi politik suci itu.

Jika tokoh aku dijebak oleh walikota dan wakil walikota di ruang kerjanya, Akil Mochtar malah menjebak dirinya sendiri di rumahnya sendiri. Bedanya lagi, si tokoh aku dijebak pada saat jam kerja, Akil Mochtar malah menjebak dirinya pada malam hari di kediamannya. Dengan begitu, kita dapat menangkap pesan tersirat dari Masriadi bahwa Akil Mochtar memang bukan politisi suci. Dia ditangkap bukan karena dijebak seperti si tokoh aku, melainkan karena Akil Mochtar salah mengartikan kesucian politik itu.

Masriadi juga dengan telak mengungkapkan dan membungkam mulut Akil Mochtar karena kebetulan Akil Mochtar pernah mengatakan, sebenarnya dia dijebak oleh orang lain. Dengan membaca cerpen ini, kita membuktikan, para koruptor selama ini bukan seperti si tokoh aku!

Penulis Peminat Sastra, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan

Harian Analisa 17 Nov 2013
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger