Aceh, Perang dan Cinta

Sunday, March 16, 20140 comments



Judul novel      : Cinta Kala Perang
Penulis             : Masriadi Sambo
Tebal               : 192
Penerbit          : Quanta-Elex Media (Gramedia Group)
Tahun terbit    : Februari 2014
Harga              : Rp 32.800

ACEH dikenal di dunia internasional karena dua hal yaitu tsunami dan perang yang berkepanjangan. Dalam literatur sejarah, konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung sekitar 35 tahun. Konflik bersenjata yang berkepanjangan itu tentu mengakibatkan rusaknya tatanan sosial, trauma berkepanjangan dan perkembangan ekonomi yang melemah, bagai manusia yang sekarat digerogoti penyakit akut. Namun, dalam perang pula masih ada semangat menyala, pada sebagian jiwa untuk terus belajar, meraih asa dan cita-cita. Nyali tak menciut karena desing mesiu saban waktu. Itulah pesan utama yang disampaikan Masriadi Sambo dalam, Cinta Kala Perang diterbitkan Quanta-ElexMedia (Gramedia Group) 19 Februari 2014 lalu.
Disaat sebagian besar anak-anak dan remaja Aceh takut ke sekolah dan kuliah, orang tak dikenal membakar rumah sekolah, tak menyurutkan semangan dara Aceh, (Cut Tari) menimba ilmu. Memberanikan diri  meninggalkan kampung halaman di Kuta Cane, Aceh Tenggara menuju Lhokseumawe sebagai salah satu daerah hitam menyimpan magnitud perang dahsyat tak kenal hari dan waktu (hal : 29).
Dalam perjalanan menuju kota yang dulu dikenal dengan sebutan Petro Dollar itu,  gadis yatim piatu itu dikejutkan dengan razia aparat keamanan negara sepanjang jalan lintas Aceh-Sumetara. Razia yang tak lazim bagi daerah lainnya. Mata aparat negara seakan melucuti semua penumpang dalam bus umum atau mobil pribadi. Saat itu pula, untuk pertama kalinya, gadis cantik itu mendengar suara senapan menyalak, tank berderap seakan membelah aspal dan pucuk-pucuk api yang menyembul dari ujung senjata terlihat jelas. Penulisnya berhasil membangun suasana perang maha dahsyat, mendeskripsikan secara jelas ketakutan warga sipil yang terjebak perang ketika pekat masih membekap alam.
Membaca adegan perang ini, kita dibawa seakan-akan menyaksikan langsung perang itu. Bagai menyaksikan film Rambo yang tersohor itu dan membawa pembaca berimajinasi bahwa perang tersebut sama dahsyatnya ketika Rambo melawan musuh-musuhnya. Melepaskan tembakan ditimpali suara bom dan granat.
Usai perjalanan yang menegangkan itu, penulis membawa tokoh utamanya pada kehidupan nyata. Bahwa, tidak semua wanita di Aceh mengenakan jilbab. Masih ada yang mengenakan kerudung dengan poni menyembul keluar. Bahkan, ada juga tanpa penutup kepala. Membiarkan rambut yang direbonding tergerai diterpa angin dan keindahannya disaksikan masyarakat umum. Walau perbuatan itu jelas dilarang bagi muslimah. Dan, Aceh, dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah, namun sangat manusiawi, jika ada masyarakat yang melanggar aturan Allah. Toh, untuk itu pula Tuhan menyiapkan surga dan neraka.
Setelah pembaca berdebar-debar membaca adegan pertempuran antar aparat keamanan dan separatis, penulisnya masuk ke sisi lain perjuangan gadis miskin kuliah. Harus mencari rumah kos dengan biaya super murah. Maklum, tokoh utama cerita itu disebutkan sebagai gadis yatim-piatu. Ayahnya ditembak orang tak dikenal dan ibunya meninggal dunia dalam bekap kemiskinan.
Karena sadar berasal dari keluarga pra sejahtera, Tari mencoba mencari pekerjaan sembari kuliah. Agak sulit masyarakat menerima pekerja paruh waktu. Beruntung, uang tabungannya ketika masih SMK, cukup untuk menutupi biaya hidup sementara sembari terus berusaha mendapat pekerjaan.
Untuk menghemat biaya makan, Tari puasa Senin-Kamis. Bukan hanya melaksanakan ibadah sunnat, namun cenderung tak memiliki biaya untuk makan setiap hari, layaknya orang lain kala itu. Daripada menahan lapar tanpa pahala. Maka, lebih baik puasa dalam dua hari selama sepekan.
Waktu berlalu. Semangat hidup terus dipupuk. Janji pada Uminya akan menjadi wanita yang sukses dan tetap kuliah menjadi pemantik semangat. Tekad bulat. Kuliah tamat tepat waktu. Bersyukur jika bisa meriah predikat cumlaude.
Seiring perjalanan waktu, sebuah lembaga swadaya masyarakat membuka lowongan kerja. Tari diterima bekerja pada lembaga yang memperjuangkan hak asasi manusia itu. Saat mendampingi korban pelanggaran HAM, dia bertemu dengan militer penjaga keamanan negara. Dari sinilah kisah dua hati berawal. Pertemuannya dengan militer-Taufan Nugraha- menimbulkan rasa aneh di dada. Dokter militer itu pula yang mengobatinya kala dia terbaring lemah di rumah sakit.
Bahkan, ketika pergi meninggalkan daerah tugas, Taufan masih sempat mengirimkan bunga, memberikan perhatian yang dalam pada gadis bertubuh mungil dan kulit putih bersih ini.
Cara penulis menggambar rasa cinta dalam kisah ini sangat menarik. Tak pernah menyebutkan kata cinta dalam bahasa yang vulgar. Tak ada pula adegan persentuhan tangan seperti salaman antar laki-laki dan perempuan. Maka, novel ini benar-benar menjaga gaya bertutur yang sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga, patutlah cap novel Islami diberikan pada cover novel yang didisain apik dengan background kubah masjid dan sosok wanita cantik.
Namun, prahara kembali dibangun penulisnya pada bab berikutnya. Lihatlah pada halaman 100, bagaimana dramatisnya ketika Tari mendatangi rumah Taufan di Jakarta. Niat hati sekadar melepas rindu dengan cara melihat wajah dan bertegur sapa. Ternyata, Taufan telah menikah, satu istri dan satu anak. Paling mengejutkan lagi, dan tidak bisa ditebak, ternyata setelah pertemuan Tari dengan Taufan dan istrinya, terjadi keributan antar pasangan itu. Istri Taufan mengidap sakit jantung dan meninggal dunia. Sedangkan Taufan mengejar Tari yang meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa menuju bandara. Takdir tak bisa ditolak. Diperjalanan, mobil Taufan tabrakan dan pria alim itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Usai kejadian, Tari langsung pulang ke Aceh. Di sana, sebongkah cinta telah menunggu. Bang Ampon-tempatnya mengajar les privat--menunggunya dengan tabah. Meminangnya dan memintanya menjadi ibu untuk anak-anaknya. Dan, malam itu menjadi malam pertama terindah dalam hidup Tari, malam itu pula seluruh penderitaan dunia sirna. Menyelesaikan kuliah dan mendapatkan suami yang baik. Pekerjaan yang mapan dan membela sesama.
Secara garis besar, pesan yang ingin disampaikan novel ini sangat mulia. Bahwasanya, Tari seorang anak korban konflik, tak menyimpan dendam membara. Dendam adalah dosa. Pesan ini penting dibaca oleh semua masyarakat di Indonesia. Tak mudah melupakan guratan menyedihkan dalam hidup. Namun, Tari berhasil membuktikannya. Memaafkan pembunuh ayahnya. Menatap hari esok lebih baik dan tetap kuliah meski perang pecah di semua arah.
Meski terjadi salah pengetikan pada beberapa beberapa, namun secara umum tidak menganggu pembaca untuk memahami makna kata-kata tersebut. Novel ini tidak secara gamblang menyebutan TNI dan GAM dalam kisah perangnya. Penulisnya seperti mengambil jarak agar tak membawa nama lembaga dan kelompok tertentu dalam novel itu. Namun, pembaca akan tahu bahwa novel itu mengisahkan sisi lain konflik Aceh, ya antara perang dan cinta.
Terakhir, novel ini layak dibaca semua kalangan, dari mahasiswa, politisi, militer dan pejabat pemerintah dan aktivis pegiat HAM. Sebagai bahan renungan, bahwa perang selalu mendatangkan kesengsaraan. Bahwa mempertahankan damai Aceh adalah sebuah keharusan. Demi masa depan generasi di ujung Pulau Sumatera itu lebih baik. 

Halida Bahri
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger