Penulis :
Masriadi Sambo
Tebal : 192
Penerbit : Quanta-Elex Media (Gramedia Group)
Tahun terbit : Februari 2014
Harga : Rp 32.800
ACEH dikenal
di dunia internasional karena dua hal yaitu tsunami dan perang yang
berkepanjangan. Dalam literatur sejarah, konflik antara Pemerintah Indonesia
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berlangsung sekitar 35 tahun. Konflik
bersenjata yang berkepanjangan itu tentu mengakibatkan rusaknya tatanan sosial,
trauma berkepanjangan dan perkembangan ekonomi yang melemah, bagai manusia yang
sekarat digerogoti penyakit akut. Namun, dalam perang pula masih ada semangat menyala,
pada sebagian jiwa untuk terus belajar, meraih asa dan cita-cita. Nyali tak menciut
karena desing mesiu saban waktu. Itulah pesan utama yang disampaikan Masriadi
Sambo dalam, Cinta Kala Perang diterbitkan Quanta-ElexMedia (Gramedia Group) 19
Februari 2014 lalu.
Disaat
sebagian besar anak-anak dan remaja Aceh takut ke sekolah dan kuliah, orang tak
dikenal membakar rumah sekolah, tak menyurutkan semangan dara Aceh, (Cut Tari) menimba
ilmu. Memberanikan diri meninggalkan
kampung halaman di Kuta Cane, Aceh Tenggara menuju Lhokseumawe sebagai salah
satu daerah hitam menyimpan magnitud perang dahsyat tak kenal hari dan waktu
(hal : 29).
Dalam
perjalanan menuju kota yang dulu dikenal dengan sebutan Petro Dollar itu, gadis yatim piatu itu dikejutkan dengan razia
aparat keamanan negara sepanjang jalan lintas Aceh-Sumetara. Razia yang tak lazim
bagi daerah lainnya. Mata aparat negara seakan melucuti semua penumpang dalam
bus umum atau mobil pribadi. Saat itu pula, untuk pertama kalinya, gadis cantik
itu mendengar suara senapan menyalak, tank berderap seakan membelah aspal dan
pucuk-pucuk api yang menyembul dari ujung senjata terlihat jelas. Penulisnya
berhasil membangun suasana perang maha dahsyat, mendeskripsikan secara jelas
ketakutan warga sipil yang terjebak perang ketika pekat masih membekap alam.
Membaca
adegan perang ini, kita dibawa seakan-akan menyaksikan langsung perang itu.
Bagai menyaksikan film Rambo yang tersohor itu dan membawa pembaca berimajinasi
bahwa perang tersebut sama dahsyatnya ketika Rambo melawan musuh-musuhnya. Melepaskan
tembakan ditimpali suara bom dan granat.
Usai
perjalanan yang menegangkan itu, penulis membawa tokoh utamanya pada kehidupan
nyata. Bahwa, tidak semua wanita di Aceh mengenakan jilbab. Masih ada yang
mengenakan kerudung dengan poni menyembul keluar. Bahkan, ada juga tanpa
penutup kepala. Membiarkan rambut yang direbonding
tergerai diterpa angin dan keindahannya disaksikan masyarakat umum. Walau
perbuatan itu jelas dilarang bagi muslimah. Dan, Aceh, dikenal dengan sebutan
Serambi Mekkah, namun sangat manusiawi, jika ada masyarakat yang melanggar
aturan Allah. Toh, untuk itu pula Tuhan menyiapkan surga dan neraka.
Setelah
pembaca berdebar-debar membaca adegan pertempuran antar aparat keamanan dan
separatis, penulisnya masuk ke sisi lain perjuangan gadis miskin kuliah. Harus
mencari rumah kos dengan biaya super murah. Maklum, tokoh utama cerita itu
disebutkan sebagai gadis yatim-piatu. Ayahnya ditembak orang tak dikenal dan
ibunya meninggal dunia dalam bekap kemiskinan.
Karena
sadar berasal dari keluarga pra sejahtera, Tari mencoba mencari pekerjaan sembari
kuliah. Agak sulit masyarakat menerima pekerja paruh waktu. Beruntung, uang
tabungannya ketika masih SMK, cukup untuk menutupi biaya hidup sementara
sembari terus berusaha mendapat pekerjaan.
Untuk
menghemat biaya makan, Tari puasa Senin-Kamis. Bukan hanya melaksanakan ibadah
sunnat, namun cenderung tak memiliki biaya untuk makan setiap hari, layaknya
orang lain kala itu. Daripada menahan lapar tanpa pahala. Maka, lebih baik
puasa dalam dua hari selama sepekan.
Waktu
berlalu. Semangat hidup terus dipupuk. Janji pada Uminya akan menjadi wanita
yang sukses dan tetap kuliah menjadi pemantik semangat. Tekad bulat. Kuliah
tamat tepat waktu. Bersyukur jika bisa meriah predikat cumlaude.
Seiring
perjalanan waktu, sebuah lembaga swadaya masyarakat membuka lowongan kerja.
Tari diterima bekerja pada lembaga yang memperjuangkan hak asasi manusia itu. Saat
mendampingi korban pelanggaran HAM, dia bertemu dengan militer penjaga keamanan
negara. Dari sinilah kisah dua hati berawal. Pertemuannya dengan militer-Taufan
Nugraha- menimbulkan rasa aneh di dada. Dokter militer itu pula yang
mengobatinya kala dia terbaring lemah di rumah sakit.
Bahkan,
ketika pergi meninggalkan daerah tugas, Taufan masih sempat mengirimkan bunga,
memberikan perhatian yang dalam pada gadis bertubuh mungil dan kulit putih
bersih ini.
Cara
penulis menggambar rasa cinta dalam kisah ini sangat menarik. Tak pernah menyebutkan
kata cinta dalam bahasa yang vulgar. Tak ada pula adegan persentuhan tangan
seperti salaman antar laki-laki dan perempuan. Maka, novel ini benar-benar
menjaga gaya bertutur yang sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga, patutlah cap
novel Islami diberikan pada cover novel yang didisain apik dengan background
kubah masjid dan sosok wanita cantik.
Namun,
prahara kembali dibangun penulisnya pada bab berikutnya. Lihatlah pada halaman
100, bagaimana dramatisnya ketika Tari mendatangi rumah Taufan di Jakarta. Niat
hati sekadar melepas rindu dengan cara melihat wajah dan bertegur sapa.
Ternyata, Taufan telah menikah, satu istri dan satu anak. Paling mengejutkan
lagi, dan tidak bisa ditebak, ternyata setelah pertemuan Tari dengan Taufan dan
istrinya, terjadi keributan antar pasangan itu. Istri Taufan mengidap sakit
jantung dan meninggal dunia. Sedangkan Taufan mengejar Tari yang meninggalkan
rumah dengan tergesa-gesa menuju bandara. Takdir tak bisa ditolak.
Diperjalanan, mobil Taufan tabrakan dan pria alim itu menghembuskan nafas
terakhirnya.
Usai
kejadian, Tari langsung pulang ke Aceh. Di sana, sebongkah cinta telah
menunggu. Bang Ampon-tempatnya mengajar les privat--menunggunya dengan tabah.
Meminangnya dan memintanya menjadi ibu untuk anak-anaknya. Dan, malam itu
menjadi malam pertama terindah dalam hidup Tari, malam itu pula seluruh
penderitaan dunia sirna. Menyelesaikan kuliah dan mendapatkan suami yang baik.
Pekerjaan yang mapan dan membela sesama.
Secara
garis besar, pesan yang ingin disampaikan novel ini sangat mulia. Bahwasanya,
Tari seorang anak korban konflik, tak menyimpan dendam membara. Dendam adalah
dosa. Pesan ini penting dibaca oleh semua masyarakat di Indonesia. Tak mudah
melupakan guratan menyedihkan dalam hidup. Namun, Tari berhasil membuktikannya.
Memaafkan pembunuh ayahnya. Menatap hari esok lebih baik dan tetap kuliah meski
perang pecah di semua arah.
Meski
terjadi salah pengetikan pada beberapa beberapa, namun secara umum tidak
menganggu pembaca untuk memahami makna kata-kata tersebut. Novel ini tidak
secara gamblang menyebutan TNI dan GAM dalam kisah perangnya. Penulisnya
seperti mengambil jarak agar tak membawa nama lembaga dan kelompok tertentu
dalam novel itu. Namun, pembaca akan tahu bahwa novel itu mengisahkan sisi lain
konflik Aceh, ya antara perang dan cinta.
Terakhir,
novel ini layak dibaca semua kalangan, dari mahasiswa, politisi, militer dan pejabat
pemerintah dan aktivis pegiat HAM. Sebagai bahan renungan, bahwa perang selalu
mendatangkan kesengsaraan. Bahwa mempertahankan damai Aceh adalah sebuah
keharusan. Demi masa depan generasi di ujung Pulau Sumatera itu lebih
baik.
Halida Bahri
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Manajemen
Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Post a Comment