PENGANTAR
September 2014, KIPPAS Medan, Sumatera Utara menyelenggarakan lomba menulis opini dan feature untuk jurnalis di Aceh. Isu utama lomba itu yakni layanan publik. Saya menulis tentang kematian bayi. Tulisan ini saya kerjakan dalam sejam. Sembari menikmati obrolan sore dengan beberapa teman di kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Utara.
Satu hal yang saya yakini, bukan soal menang dan kalah. Tapi, soal ikut serta dalam satu pelaksanaan lomba adalah hal menyenangkan. Selain itu, saya meyakini seperti manusia, setiap naskah akan menemukan jodohnya sendiri.
Inilah naskah yang memenangkan lomba penulisan feature di KIPPAS Medan, Sumatera Utara. Hadiah lomba ini Asus 7.
==
Kematian Bayi, Cerita Lama tak
Berujung
Masriadi
SEJUMLAH
orang duduk di lobi kantor Dinas Kesehatan Aceh Utara, di Desa Alue Mudem,
Kecamatan Lhoksukon, kabupaten setempat, Selasa (16/9). Di sisi kiri-kanan
lobi, terdapat ruang kerja. Sejumlah pegawai sibuk di ruang itu. Sedangkan di
lobi, sejumlah pegawai dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) duduk
santai. Sebagian dari mereka mengurus kenaikan pangkat. Sebagian lagi,
menyerahkan laporan bulanan ke kantor bercat biru muda itu.
Dinas itu
sedang di rundung malang. Pasalnya, data Dinas Kesehatan Aceh menyatakan Aceh
Utara sebagai daerah tertinggi kematian ibu dan bayi di provinsi di ujung
Sumatera itu. Secara keseluruhan, rata-rata kematian ibu dan bayi di provinsi
Aceh sebanyak 100 orang per bulan.
Sedangkan
khusus untuk Aceh Utara, sepanjang Januari-Agustus 2014 tercatat 22 ibu dan 99
bayi meninggal dunia ketika melewati proses persalinan. Salah satunya, adalah
bayi dari Azmi (45). Warga Desa Samakurok, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh
Utara itu bulan lalu kehilangan putra keenamnya. Bayi itu meninggal dunia sejak
dalam kandungan. Bidan setempat membantu proses persalinan.
“Saya sudah
ikhlaskan apa pun yang terjadi untuk bayi saya. Saya tidak tahu penyebabnya.
Padahal, kami mengecek secara rutin ke dokter. Namun, sebelum melahirkan bayi
itu sudah meninggal di kandungan,” terang Azmi.
Dikatakan, dia
telah menempuh layanan medis sebaik mungkin. Sayangnya, takdir berkata lain.
“Ini sudah takdir Allah,” katanya pasrah. Hal yang sama dituturkan, Halida
Alied (30) warga Desa Serdang, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara. Karyawan di
perusahaan swasta ini menyebutkan dua kali buah hatinya meninggal dunia dalam
kandungan. “Anak pertama berusia lima bulan dalam kandungan. Yang kedua berusia
enam bulan. Saat itu, saya tidak mengetahui penyebabnya, mengapa janin saya meninggal
dalam kandungan dan tidak selamat,” sebutnya.
Setelah dua
kali mengalami musibah yang memilukan itu, Halida berkonsultasi ke dokter
spesialis kandungan. “Dokter menyarankan agak saya cek darah. Setelah cek di
salah satu laboratorium swasta, diketahui ternyata saya ada virus toxoplasma.
Virus ini diduga penyebab utama, janin saya meninggal dunia,’ kenangnya
melambung ke peristiwa dua tahun lalu.
Sejak awal,
sambung Halida, dirinya tidak mengetahui seluk beluk kehamilan. Dia berusaha
agar tetap rileks, mengkonsumsi makanan yang sehat dengan kadar gizo yang cukup
serta tidak bekerja selama mengandung.
“Saya periksa
kandungan sejak dari bidan sampai dokter spesialis. Semuanya mengatakan normal
saja. Karena itulah, saya putuskan untuk ikut saran dokter memeriksa darah
apakah ada penyakit atau tidak,” ujarnya. Tapi, sayangnya sambung Halida, saran
dokter itu disampaikan setelah dua kali kehilangan buah cintanya.
Kekurangan
Bidan
Kepala Dinas
Kesehatan Aceh Utara, Efendi tak menampik angka kematian ibu dan bayi yang
dilansir Dinas Kesehatan Aceh itu. Namun, jika dibagi dengan jumlah penduduk
dan luas wilayah, sebut Efendi, angka tersebut terbilang kecil.
“Kita selalu
berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan untuk kaum ibu melalui bidan desa,
tenaga kesehatan di desa dan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),”
ujarnya.
Meski begitu,
sambung Efendi, saat ini pihaknya kekurangan bidan desa sebanyak 178 orang.
“Kita targetkan seluruh desa yaitu 852 di Aceh Utara ada bidan. Kta kurang 178
orang lagi. Kita sudah usulkan ke kementerian agar diberikan kuota menerima
bidan dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT) tahun depan,” terangnya.
Ditambahkan,
pihaknya juga memberikan pelatihan pada bidan, agar cekatan dalam melayani ibu
bersalin. Sehingga, perlahan angka kematian ibu dan bayi di Aceh Utara bisa
ditekan.
Tahun lalu,
Aceh Utara menepati peringkat kematian ibu sebanyak 15 orang dan bayi 78 orang. Sedangkan tahun 2012, angka
kematian ibu di kabupaten itu sebanyak 20 orang.
“Kami juga
selalu mengingatkan agar bidan pro aktif mengunjungi ibu hamil. Agar bisa
memonitor kesehatannya. Jika memang tak sanggup menangani, segera rujuk ke
rumah sakit,” terang Efendi.
Dikatakan,
pihaknya komit untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di kabupaten itu.
Layanan Puskesmas terus ditambah. “Jadi tenaga kesehatan di Puskesmas terus
kita tambah agar bisa membantu bidan di Puskesmas menangani pasien yang akan
melahirkan,” terangnya.
Kondisi
Kritis
Sementara itu,
Wakil Direktur Bidang Layanan Medis, Rumah Sakit Umum Cut Meutia (RSUCM) Aceh
Utara, Machrozal, menyebutkan umumnya pasien yang akan melahirkan datang dengan
kondisi resiko tinggi. “Artinya, mereka datang ketika kondisinya sudah lemah.
Idealnya, persalinan itu dipersiapkan. Sehingga datang ke rumah sakit itu dalam
kondisi sehat, dan mudah ditangani,” sebutnya.
Dikatakan,
selama ini, banyak ibu bersalin datang ke rumah sakit itu, setelah tak mampu
ditangani di Puskesmas atau rumah sakit swasta lainnya. “Benar rumah sakit ini
rumah sakit rujukan. Namun, alangkah baiknya, kami yang menangani sejak awal.
Sehingga, dokter-dokter kami mengetahui kondisi detail pasien itu,” terangnya.
Saat ini,
pihaknya memiliki tiga dokter spesialis kandungan. Jumlah itu dianggap
mencukupi untuk melayani pasien yang akan melahirkan di rumah sakit milik
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara itu.
“Kalau ruang
operasi, layanan ruang rawat inap dan dokter kami sangat mencukupi. Layanan it
uterus kita tingkatkan. Sehingga, angka kematian ibu dan bayi di Aceh Utara
bisa kita tekan,” pungkasnya.
Kini, publik
menunggu kerja keras Pemkab Aceh Utara untuk menekan angka kematian ibu dan
bayi. Apakah angka kematian kan terus mencari cerita lama tak berujung?
Entahlah.
Ibu/Bayi Meninggal 2014 di Aceh
1:
Sabang Ibu
1 :Bayi 2 orang
2: Banda Aceh Ibu 1 :Bayi 11 orang
3: Aceh Besar Ibu 2 :Bayi 29 orang
4: Pidie Ibu 1 :Bayi 24 orang
5: Pidie Jaya Ibu 0 :Bayi 7 orang
6: Bireuen Ibu 2 :Bayi 36 orang
7: Lhokseumawe Ibu 0 :Bayi 10 orang
8: Aceh Utara Ibu 9 :Bayi 32 orang
9: Aceh Timur Ibu 0 :Bayi 31 orang
10: Langsa Ibu 0 :Bayi 17 orang
11: Aceh Tamiang Ibu 4 :Bayi 26 orang
12: Bener Meriah Ibu 1 :Bayi 4 orang
13: Aceh Tengah Ibu 1 :Bayi 13 orang
14: Gayo Lues Ibu 2 :Bayi 6 orang
15: Aceh Tenggara Ibu 2 :Bayi 10 orang
16: Aceh Jaya Ibu 0 :Bayi 6 orang
17: Aceh Barat Ibu 2 :Bayi 17 orang
18: Nagan Raya Ibu 1 :Bayi 14 orang
19: Aceh Barat Daya Ibu 0 :Bayi 14 orang
20: Aceh Selatan Ibu 0 :Bayi 10 orang
21: Aceh Singkil Ibu 3 :Bayi 8 orang
22: Subulussalam Ibu 1 :Bayi 7 orang
23: Simeulue Ibu 0 :Bayi 24 orang
2: Banda Aceh Ibu 1 :Bayi 11 orang
3: Aceh Besar Ibu 2 :Bayi 29 orang
4: Pidie Ibu 1 :Bayi 24 orang
5: Pidie Jaya Ibu 0 :Bayi 7 orang
6: Bireuen Ibu 2 :Bayi 36 orang
7: Lhokseumawe Ibu 0 :Bayi 10 orang
8: Aceh Utara Ibu 9 :Bayi 32 orang
9: Aceh Timur Ibu 0 :Bayi 31 orang
10: Langsa Ibu 0 :Bayi 17 orang
11: Aceh Tamiang Ibu 4 :Bayi 26 orang
12: Bener Meriah Ibu 1 :Bayi 4 orang
13: Aceh Tengah Ibu 1 :Bayi 13 orang
14: Gayo Lues Ibu 2 :Bayi 6 orang
15: Aceh Tenggara Ibu 2 :Bayi 10 orang
16: Aceh Jaya Ibu 0 :Bayi 6 orang
17: Aceh Barat Ibu 2 :Bayi 17 orang
18: Nagan Raya Ibu 1 :Bayi 14 orang
19: Aceh Barat Daya Ibu 0 :Bayi 14 orang
20: Aceh Selatan Ibu 0 :Bayi 10 orang
21: Aceh Singkil Ibu 3 :Bayi 8 orang
22: Subulussalam Ibu 1 :Bayi 7 orang
23: Simeulue Ibu 0 :Bayi 24 orang
Post a Comment