Dan, Paper itu Menemukan Jodohnya…

Wednesday, July 23, 20140 comments

SATU hari, di penghujung bulan Ramadan 2014, seorang teman meminta saya mengikuti lomba menulis yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT KNPI ke 41. Teman itu menyatakan sangat khawatir tidak ada peserta dalam lomba tersebut.

“Jika tak ada peserta, bisa gawat acara ini,” kata teman itu. Kami duduk di warung kopi hingga dini hari. Menghabiskan bergelas-gelas kopi yang diolah dari Ulee Kareng yang tersohor itu.

“Boleh. Nanti saya kirim naskah satu. Saya punya paper tugas kuliah di kampus, nanti saya kirimkan,” ujar saya dalam diskusi ringan itu. Setelah beberapa hari, saya lupa pada diskusi itu. Menjelang batas akhir pengumpulan naskah, saya teringat lagi janji saya.

Maka malam itu, saya buka file paper tugas-tugas saya selama menjadi mahasiswa pasca sarjana Komunikasi Penyiaran Islam.  Beruntung, file itu masih ada. Judul aslinya, Riwayat Pendidikan Islam di Samudera Pasai. Ini tugas untuk mata kuliah Pekermbangan Islam dari Aceh ke Nusantara. Diampu oleh Ketua STAIN Malikussaleh, Dr Hafifuddin. Kala itu, seluruh mahasiswa ditugaskan menulis paper minimal sepuluh halaman.

Maka, dengan mengubah beberapa bagian kecil, seperti judul, dan memutilasi lima halaman, maka jadilan tulisan yang saya kirim ke lomba ini. Nasib baik, paper yang awalnya tugas kuliah saya itu menjadi juara harapan satu. Saya tersenyum-senyum ketika dikabari informasi itu. Tentu saja plus bersyukur pada sang pencipta. Toh, kini paper itu naik statusnya, bukan semata-mata tugas kuliah. Dari juara harapan. Hanya butuh beberapa menit saja memutilasi dan mengganti judul. Dan, inilah paper yang menemukan jodohnya…
===
Ihwal Sang Sultan

KEMASYHURAN raja ini dikenal luas, dari Aceh hingga Nusantara, dari semenanjung Malaya sampai Asia Tenggara. Dialah pemimpin besar, Sultan Malikussaleh. Menahkodai Kerajaan Samudera Pasai. Meletakkan fondasi pemerintahan, membentuk tatanan sosial, sistem pendidikan hingga mengembangkan ajaran Islam.
Sebagai pendiri kerajaan, Sultan paham benar bagaimana merebut hati rakyat. Menempatkan diri sejajar dengan rakyat. Hingga, misi penyebaran agama Islam berlangsung begitu cepat. Tercepat dalam sejarah penyebaran agama di Nusantara (Azumardi Azra :2004). Hanya hitungan tahun, Islam sudah mengakar di bumo Pasai. Tahun-tahun berikutnya, menyebar ke Nusantara melalui para santri yang hijrah ke Pulau Jawa. Para santri ini belakangan dikenal dengan sebutan Wali Songo.
            Sultan tidak enggan berbaur dengan rakyat. Seorang petualang, Ibnu Batutah, dalam sebuah kunjungannya ke Samudera Pasai menyebutkan Sultan selalu berjalan dari istana menuju masjid ketika salat Jumat. Usai Jumat, Sultan berbaur dengan rakyat. Duduk bersila dalam formasi melingkar untuk mendengarkan kajian Islam yang disampaikan oleh ulama-ulama kerajaan.
            Soal hubungan internasional, Sultan juga memberikan izin tinggal ulama asing dari India, Persia dan Arab untuk menetap di Aceh. Mendirikan balai-balai pengajian di samping rumah para ulama dan mengimbau seluruh rakyat belajar pada ulama tersebut. Bahkan, Sultan juga membantu ulama untuk memilih tempat tinggal dan mendirikan balai pengajian. Naturalisasi ulama asing ini semakin nyata setelah menikah dengan dara Aceh. Sehingga, proses Islamisasi masyarakat Aceh semakin cepat. Puncaknya, pada abad ke 10 masehi, Samudera Pasai dikenal sebagai pusat pengembangan ajaran Islam paling populer di Asia Tenggara dan sebagian kecil Timur Tengah. Sikap yang sama diajarkan pada putranya, Malikuddhahir. Sehingga, pepatah yang menyatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya tepat ditabalkan untuk kerajaan ini. Malikuddhahir lah orang yang memformalkan pendidikan dayah pertama di Aceh.
            Sultan Malikussaleh sadar betul, untuk memajukan sebuah bangsa harus menggunakan jurus jitu masuk lewat pintu pendidikan. Baik itu pendidikan agama, pendidikan umum sampai pendidikan bercocok tanam dan berdagang. Kerajaan menyediakan guru untuk mengajarkan berbagai pengetahuan yang diperlukan rakyat. Seluruh pengetahuan itu gratis. Bukan berbayar layaknya sistem pendidikan modern saat ini.
Dampaknya, bumi yang subur sepanjang Krueng Pase hingga Krueng Jambo Aye itu menghasilkan aneka rempah. Sehingga, ratusan kapal-kapal pedagang mancanegara berlabuh di Krueng Pasai. Bongkar-buat barang terjadi sepanjang siang dan malam. Aktivitas itu hanya jeda ketika azan berkumandang. Mereka membeli rempah dan menjualnya sampai ke Eropa. Sistem perdagangan modern yang diciptakan Sultan membawa berkah. Rakyat menjadi sejahtera, dan melek aksara. Sehingga tak mungkin bisa tertipu oleh spekulan yang telah ada zaman purba.

Pertahanan Semesta
            Militer Indonesia, melalui Jenderal AH Nasution mengembangkan sistem pertahanan semesta. Sebagian pemikir menyebutnya sistem pertahanan gerilya. Jauh sebelum pahlawan revolusi itu mengembangkannya, Meurah Silue telah menerapkan konsep ini. Menitikberatkan kedekatan prajurit istana dengan rakyat. Prajurit bukan tukang semprit yang menciptakan masalah hukum untuk memenuhi kuota sidang di istana. Prajurit pelindung untuk seluruh warga yang ada di bumi  Pasai. Tak perduli dia datang dari India atau Eropa. Tak perduli perbedaan suku, ras dan agama. Istana melindungi semua warga yang menetap atau berkunjung ke Pasai. Sikap pluralisme prajurit-prajurit Pasai telah diakui oleh Marcopolo dalam kunjungannya ke Aceh.
Kecintaan rakyat pada Sultan dan kerajaan menjadi benteng utama pertahanan. Prajurit istana menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat. Dari buruh angkut di kanal-kanal dermaga, nelayan, petani dan pengusaha bersatu untuk menjaga kedaulatan bangsa. Buktinya, Samudera Pasai tercatat  sebagai satu-satunya kerajaan yang tak bisa ditaklukkan Gajah Mada yang berikrar lewat Sumpah Palapa. Panglima Perang Kerjaan Majapahit itu berhasil dipukul mundur oleh prajurit Pasai dibantu seluruh rakyat Pasai (Putra Gara : 2012). Rakyat bersatu padu melawan pasukan yang ingin menaklukkan Samudera Pasai di bawah Kerajaan Majapahit. Mereka ingin, Pasai tetap berdaulat. Berdiri di atas kaki sendiri dan mengatur kehidupan secara Islami.
Meski rakyat dan prajurit menyatu bagai gula dengan kopi, penegakkan hukum menjadi keharusan. Menciptakan rasa nyaman bagi masyarakat adalah esensi hukum itu sendiri. Sehingga, ketika ada kasus-kasus hukum, prajurit tak segan membawa pelakunya di persidangan istana. Para hakim istana dari kalangan ulama menjatuhkan vonis seadil-adilnya. Rujukan hukum bermuara pada Quran dan hadis. Sehingga pelaku kejahatan merasakan keadilan. Bukan penzaliman lewat meja persidangan seperti lakon dewasa ini.

Enggan Bercermin
            Lalu bagaimana Aceh dan Indonesia kini? Bangsa ini menghadapi krisis kepemimpinan akut. Reformasi belum membawa angin segar perubahan di bidang penegakan hukum. Idiom hukum bak pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas masih terus terjadi.
Beberapa kasus hukum yang fenomenal mencuat sebagai bentuk pengkhianatan negara terhadap rakyat. Lihatlah kisah Nek Minah (55) di Purwokerto, Jawa Tengah harus duduk di kursi pesakitan hanya karena mencuri tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan.  Nenek renta ini bahkan telah meminta maaf dan mengembalikan kakao itu pada mandor perusahaan. Namun, merasa berkuasa, perusahaan melaporkannya ke polisi. Kasus ini diusut hingga pengadilan memvonis perbuatannya 45 hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan penjara medio 2009 lalu.
Peristiwa menyedihkan lainnya ketika polisi mengusut kasus pencurian setandan pisang yang dilakukan suami-istri, Supriyono (19) dan Sulastri (19) di Bojonegoro, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengganjar terdakwa kasus ringan ini dengan ancaman tujuh tahun penjara medio 2010 lalu. Harga setandan pisang saat itu berkisar Rp7.000- Rp 10.000.
Belum hilang ingatan masyarakat pada cerita kepiluan hukum itu, dua tahun kemudian,  seorang anak berinisial DW (15) dituntut tujuh bulan penjara, hanya karena mencuri uang Rp 1.000 di Denpasar, Bali. Anak yatim piatu ini mencuri karena kelaparan. Butuh uang buat beli nasi makan siang dan bertahan hidup. Meski perbuatan ini salah dimata Tuhan dan dimata hukum, namun menuntut tujuh bulan penjara merupakan satu kemunafikkan yang dipraktikkan aparat negara.
Dilema hukum semakin akut ketika puluhan anggota DPRD/DPR RI, kepala daerah, polisi, politisi, menteri hingga ketua Mahkamah Konstitusi negeri ini terjerat dalam kasus suap dan korupsi. Menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan anehnya masih tersenyum sumringah di depan layar kamera. Tanpa malu atau jeri atas perbuatannya. Tanpa merasa berdosa pada rakyat yang memilihnya. Tanpa iba terhadap hak rakyat yang dirampas haknya.
Sejatinya, hukum berlaku setara. Tak mengenal kasta. Tak mengenal anak pejabat negara. Semua warga, jika bersalah harus dihukum seadil-adilnya. Lakon pilu kebangsaan kita itu disebabkan karena bangsa ini enggan bercermin pada peristiwa masa lampau. Enggan membaca sejarah dan riwayat kepemimpinan terbaik yang pernah dimiliki perut bumi Indonesia. Jikalah Sultan Malikussaleh masih hidup, dia kan menangis melihat realitas anak bangsa saat ini.
Ironi bangsa tak berhenti pada simpul hukum. Lihatlah perilaku aparatur sipil kita. Cerita apratur negara enggan melayani warga masih terdengar saban hari. Menghiasi laman situs berita dan lembaran koran. Untuk mencetak selembar surat keterangan pindah desa saja butuh waktu 36 jam. Aparatur kita lupa bahwa mereka pelayan warga. Bukan melayani atasan yang rajin memberi uang tips atau proyek yang melimpah sepanjang tahun anggaran.
Kini, saatnya seluruh pemuda dan anak bangsa bercermin. Merenung dan menghayati peristiwa lampau. Mengambil esensi terbaik. Mengamplikasikannya dalam praktik melayani warga. “Selemah-lemahnya” iman, mempraktikkannya dalam kehidupan berumah tangga.
Bangsa ini harus berani mengingatkan ketika pemimpin alpa pada rakyatnya. Membangunkan pemimpin agar tak terlena dalam buaian kekuasaan. Mengajaknya kembali menengok rakyat, membuat program yang mensejahterakan mereka.
Kini, mari bercermin. Mari mengevaluasi kesalahan dan dosa-dosa. Berbuat baik untuk semua warga di bumi sang pencipta. Mari merenung ketika malam kian dewasa. Menunggu pagi nan cerah atau kita kan membiarkan malam berubah menjadi malam jahanam. Entahlah.


Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger