Lalu,
saya tanya, apakah bisa langsung
menuliskan namanya? Dia menjawab dengan sangat percaya diri. “Boleh. Tulis saja besar-besar nama saya di Koran Anda,”
ujar pria ini.
Saya
terkejut ketika mendengar jawaban itu. Ini guru pertama yang berani langsung
bicara ke media, dan memberikan izin namanya langsung ditulis. Umumnya, guru
kalau pun melakukan protes, selalu berkata ‘jangan tulis nama saya ya. Jika ada
masalah, saya siap bertanggungjawab sampai ke persidangan sekali pun’ katanya. Nah,orang
yang mengaku guru ini berarti orang yang paling berani.
Lalu,
saya coba pelajari siapa orang ini. Saya coba cek sana-sini siapa dia
sebenarnya. Bernarkah dia seorang guru? Saya tidak bisa percaya begitu saja. Ditambah
lagi saya tidak kenal sama sekali orang ini. Skeptis memang denyut nadi para
jurnalis.
Setelah
cek sana-sini, ternyata orang
yang mengaku guru itu bukanlah guru. Bahkan, identitas yang dia sebutkan palsu.
Dia hanya mengaku-ngaku guru. Entah apa motifnya. Saya telepon dia lagi. Namun, sampai sekarang telepon saya tidak pernah
diangkat. Artinya, tidak semua orang patut kita percayai. Termasuk orang ini.
Saya
tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika saya mempercayai apa yang
disampaikan guru palsu ini. Pertama, sekolah itu akan melakukan protes
besar-besaran, lalu dinas pendidikan melakukan hal yang sama. Seterusnya, publik
akan menilai saya sebagai jurnalis terbodoh dalam sejarah jurnalisme di negeri
ini. Selain itu, nama baik media menjadi taruhannya.
Manusia
memang aneh. Sulit ditebak. Ada
yang baik, tak sedikit pula yang kurang ajar. Skeptis, penting untuk pekerjaan
ini.
Post a Comment