Oleh : Masriadi Sambo
KORUPSI di
Indonesia sudah menjadi budaya. Itulah kalimat yang sering diungkapkan oleh
para politisi, pejabat negara, pengajar, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat
(LSM) di berbagai forum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin masif
melakukan penangkapan terhadap koruptor di negeri ini. KPK bergerak dari pusat
sampai daerah. Dari polisi sampai para politisi. Dari bupati hingga pegawai
negeri. Dari calo anggaran sampai ke rekanan proyek pembangunan.
Jika
korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini, maka upaya pecegahan dan
pemberantasan korupsi pun patut dilakukan dari segala arah. Memperkecil ruang
bagi koruptor untuk melakukan aksinya. Salah satu sektor yang paling rentan
terjadi korupsi adalah pengadaan barang dan jasa. Dari sektor ini, rekanan,
politisi dan pegawai negeri kerap tersangkut kasus korupsi.
Lihatlah
kasus korupsi megaproyek Hambalang, Bogor, Jawa Tengah. Sejauh ini, KPK telah
menetapkan kuasa pengguna anggaran proyek itu Dedy Kusnidar sebagai tersangka.
Kasus itu melibatkan perusahaan milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M
Nazaruddin (Kompas, 3 Oktober 2012).
Proyek
pengadaan simulator di Korlantas Mabes Polri tak lepas dari korupsi. Akibatnya,
KPK menetapkan mantan Komandan Korlantas Mabes Polri Irjen Djoko Susilo sebagai
tersangka. Kasus yang menghebohkan ini terus disidik oleh dua lembaga yaitu KPK
dan Mabes Polri.
Dua
kasus tersebut merupakan kasus besar dan menonjol sepanjang tahun 2011-2012.
Korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa juga terjadi di daerah. Semisal
kasus pengadaan barang alat kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe,
Provinsi Aceh. Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, telah menetapkan Kepala Dinas Kesehatan
setempat,Sarjani, sebagai tersangka. Dalam kasus ini diperkirakan kerugian
negara mencapai Rp 3 Miliar. Kejaksaan juga menyelidiki keterlibatan rekanan
dalam kasus tersebut. (Serambi Indonesia,
1 September 2012). Dari kasus itu terlihat pejabat dan rekanan
berkolaborasi untuk melakukan korupsi.
Peran Masyarakat
Realitas
tersebut menyiratkan sektor pengadaan barang dan jasa harus dibenahi oleh elit
negeri ini. Dalam Keputusan Presiden (Kepres) No 54/2010 tentang pengadaan
barang dan jasa hanya memuat tentang teknis pengadaan barang dan jasa. Dalam
Kepres itu tidak ada satu pun pasal yang mengatur keterlibatan masyarakat untuk
mengawasi pengadaan barang dan jasa tersebut.
Untuk
itu, sudah seharusnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Gamawan Fauzi, mengintruksikan
seluruh daerah di Indonesia membuat peraturan daerah (Perda) tentang
transfaransi pengadaan barang dan jasa. Dalam Perda transfaransi pengadaan
barang dan jasa harus mengatur tentang keterlibatan masyarakat secara nyata
dari proses awal tender sampai pengerjaan proyek di lapangan. Apa pun
ceritanya, masyarakat lah yang akan menikmati baik dan buruknya kuwalitas
proyek yang diciptakan oleh pemerintah. Sehingga, sudah seharusnya masyarakat
dilibatkan untuk mengawasi proses tender tersebut.
Selain
itu, dalam Perda tersebut harus mengatur tentang pendirian pos pengaduan
masyarakat. Pos pengaduan ini idealnya berada dibawah Kantor Inspektorat di
masing-masing kabupaten/kota. Sehingga, ketika rekanan tidak mengerjakan proyek
dengan baik, kuwalitas proyek sangat buruk dan lain sebagainya, masyarakat bisa
melaporkan temuan tersebut pada pos pengaduan itu. Pos ini nantinya secara
berkala akan melaporkan ke bupati/walikota dan wajib mengekspose
laporan-laporan dari masyarakat tersebut melalui media massa. Jika ini
dilakukan, tidak akan ada lagi cerita gedung tertentu rusak sebelum
difungsikan. Jalan tertentu rusak padahal baru selesai diaspal dua bulan
sebelumnya. Ini langkah kecil untuk menyelematkan kebocoran uang negara dari
sektor pengadaan barang dan jasa. Mempersempit ruang korupsi bagi pejabat dan
rekanan proyek barang dan jasa.
Perda
tentang transfaransi pengadaan barang dan jasa ini belum pernah dibuat di Indonesia.
Khusus untuk Provinsi Aceh yang memiliki 27 kabupaten/kota, hanya Kabupaten
Aceh Utara saja yang baru membahas draf Perda transfaransi pengadaan barang dan
jasa tersebut, 14 September 2012 lalu. Sedangkan 26 kabupaten/kota lainnya di
Provinsi Aceh belum sama sekali membahas draf Perda tersebut, (Alfian, 2011).
Untuk
itu, Mendagri RI sekali lagi, Mendagri perlu mengintruksikan seluruh kepala
daerah membuat Perda ini. Penyusunan Perda ini tidak membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Setahun saja Perda ini telah selesai dibahas dan disahkan. Bagi
daerah yang membandel, harus ada sanksi tegas dari Mendagri RI. Tujuannya,
menyelematkan uang negara dan memperkecil kebocoran dana pada sektor pengadaan
barang dan jasa. Untuk tingkat pemerintah pusat, perlu dibuat Kepres tentang
transfaransi ini. Sehingga, publik bisa berpartisipasi dalam mengawasi sektor
ini.
Penegakkan Hukum
Terakhir, perlu upaya penegakkan
hukum yang tegas, cepat , tanpa pandang bulu dan transfaran. Saat ini, untuk
daerah hanya polisi dan kejaksaan yang mengusut kasus-kasus korupsi. Jumlah
kasus korupsi yang diusut terbilang sedikit dibanding kasus-kasus pidana umum
lainnya.
Alasannya,
penyidik di kejaksaan dan polisi pada tingkat kabupaten/kota jumlahnya sangat
sedikit. Umumnya, pada unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polres dan unit
Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri hanya ada dua penyidik. Dalam setahun,
polisi dan jaksa tak mampu menyelesaikan satu kasus korupsi pun. Untuk itu,
sudah seharusnya Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mabes Polri menambah jumlah
penyidik untuk kabupaten/kota.
Selain
itu, ke depan, KPK sudah sepatutnya membuka kantor-kantor perwakilan di ibukota
provinsi. Sehingga, kasus-kasus korupsi dengan nominal puluhan milyar dan
triliun bisa langsung ditangani oleh KPK.
Kini, saatnya seluruh elemen negeri
ini menggalang kekuatan, menyatukan pandangan, seiring bahu, seayun langkah dan
teriakkan lawan koruptor dan stop korupsi di Indonesia.
Post a Comment