HARI ini, aku bersama 23 siswa lainnya dinyatakan naik ke kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berdiri dua tahun lalu. Berstatus negeri. Kami murid perdana. Terlalu jauh jika kami harus sekolah di kota. Sekitar 100 kilometer dari kampung ini, menaiki tiga bukit terjal dan melewati dua sungai. Akibatnya, warga kampung pasrah dan tak mau sekolah. Alasan lainnya, setamat sekolah pun warga tetap menjadi petani. Ingin jadi pegawai negeri, harus sogok sana-sini.
Naik ke kelas bukanlah kabar baik. Pagi
tadi, kepala sekolah,
Bu Tuti menyatakan kelas kami ditempati siswa baru. “Kasihan lah sama adik
kelas kalian. Mereka menggunakan ruang kelas kalian, karena disitu ada kursi dan meja.
Kalian mengalahlah. Sabar Nak, kalian terpaksa belajar di lantai untuk
sementara waktu,”.
Mata Bu Tuti berlinang. Bulingan jernih
menetes di pipi.
Meski sekolah ini berstatus negeri, kami tak memiliki apa-apa. Sekolah ini memiliki tiga ruang kelas plus
satu ruang guru. Guru pun membawa meja dan kursi dari rumah masing-masing.
Pemerintah membantu kursi
dan meja untuk satu kelas.
“Kalian mau kan duduk di lantai. Buat sementara saja.
Ibu sedang berusaha meminta ke kabupaten,” ujarnya lirih.
***
HUJAN turun perlahan ketika aku tiba di
sekolah. Sebagian teman duduk di bawah pohon bambu di belakang kelas. Menunggu
pelajaran dimulai. Mereka murung.
Kami menyapu dan mengepel lantai
kelas agar tak berdebu. Tak punya tikar. Harus menggunakan kertas bekas sebagai alas. Duduk di lantai tidak nyaman.
Kami harus bersekolah. Kampung ini harus
maju ke depan. Sebagian areal desa kami telah menjadi perkebunan milik Negara.
Namun, kami tetap saja miskin. Abu bilang jika mau sukses harus sekolah agar menjadi
pintar dan diterima di dunia kerja. Itu cita-cita kami warga kampung ini.
“Generasi kami kurang beruntung. Kalian harus lebih baik. Kami ini tenaga bakti, gaji
Rp 350.000 per bulan. Untuk bensin sepeda motor saja tidak cukup. Kami ikhlas
mengajar kalian. Masak kalian tidak ikhlas belajar. Kita tetap semangat,” ujar
Bu Aisyah guru pelajaran agama Islam menyemangati. Di sekolah hanya
kepala sekolah kami berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Guru lainnya, berasal
dari warga kampung yang sudah menyelesaikan pendidikan di kota. Mengabdikan ilmunya
di kampung ini. Meski gaji tak seberapa.
Selain itu, sekolah tak memiliki pagar. Sesekali sepasang
babi hutan membawa anak-anaknya bermain di halaman sekolah. Jika sudah begitu,
kami lari ke kelas, meninggalkan rumpun bambu tempat paling nyaman untuk
berteduh.
***
SATU hari, datang pria tua, penuh uban, berkacamata hitam.
Saat itu, kami duduk di kelas tiga. Artinya, dua tahun kami belajar di lantai.
Pria tua itu berbincang sejenak dengan kepala sekolah. Wajah kepala sekolah
tampak kurang senang terhadap pria itu.
“Bapak itu datang dari kota. Dia mau mengajak kalian
mencoblos salah satu pasangan pada pemilihan bupati nanti. Ibu tak bisa
melarang dia masuk ke sekolah ini. Namun, ibu hanya mengatakan, kalian jangan
terpengaruh. Pilihlah orang yang kalian suka, dengan program kerja yang jelas,”
sebut Bu Tuti.
Si Bapak Tua pun berceramah. Berjanji jika terpilih, maka
kandidat yang diusungnya akan membangun sekolah itu dan berlantai keramik. “Tak
perlu duduk di debu. Kalian harus mendapatkan perlakuan yang sama seperti siswa
di kota,” ujar Bapak Tua. Kami hanya terdiam.
Hari pemilihan bupati pun tiba. Kandidat yang diusung si
Bapak Tua menang mutlak di desa kami. Sebulan kemudian kandidat itu dilantik
jadi bupati. Bulan berganti. Semakin lama, sekolah ini semakin keropos. Atap
mulai bocor,jika hujan, kami pun terpaksa menampung air dengan ember. Lalu
belajar lagi. Janji tim sukses calon bupati itu tak pernah terbukti. Warga
kampung merasa ditipu. Kami berduka untuk pemimpin pendusta.
***
WAKTU bergulir. Aku dan 23 temanku sepakat meninggalkan
kampung. Kami melanjutkan pendidikan di kota. Kami melanjutkan pendidikan di
berbagai bidang ilmu. Dari kedokteran sampai politik.
“Kita harus sukses. Cari uang di kota, bawa pulang ke
kampung. Kampung itu harus makmur. Abu dan umi kita harus punya lahan sendiri.
Tidak perlu lagi menjadi buruh di perkebunan negara,”kataku pada teman-teman.
35 tahun sudah kami meninggalkan kampung. Sebagian besar
teman-teman sudah berkeluarga. Ada yang menjadi dokter, psikolog,bekerja di
bank dan lain sebagainya. Setiap tahun kami pulang kampung. Kami patungan untuk
membangun sekolah. Seluruh mobiler sekolah sudah memadai. Namun, jalan desa
berkubang dan berlumpur tak mampu kami perbaiki. Butuh dana miliaran untuk
membangun jalan aspal dari kampung ke ibukota kecamatan.
“Harus ada dari kita yang menjadi bupati. Jika tidak,
orang kampung tak akan pernah maju. Bupati selama ini selalu dari orang kota.
Mereka hanya berpikir sampai di ibukota kecamatan. Kita, selalu dilupakan.
Seakan kita bukan warga kabupaten ini.”
Strategi pemenangan disusun. Ridwan kami jagokan menjadi
bupati. Dia lama di luar negeri. Namun, pandangannya terhadap kampung tetap
seperti Ridwan yang dulu. Kampung harus maju. Pemilihan bupati setahun lagi.
Kami terus bekerja. Mengkampanyekan bahwa kampung wajib berkembang. Dana
kampanye kami keluarkan dari kantung sendiri. Hari pemilihan pun tiba. Ridwan
terpilih.
Kini, dia hidup mewah. Kekayaan berlimpah. Puluhan hektar
tanah dan ruko tercatat sebagai miliknya. Namun, satu hal yang dia lupa. Dia
melupakan kampung halamannya. Jika kemarau, kampung itu tetap berdebu,
berlumpur jika musim penghujan. Warga tetap miskin dan menjadi buruh
perkebunan.
Serambi-7/10/2012
Serambi-7/10/2012
Post a Comment