In Memoriam Zainal Abidin Sambo

Sunday, June 2, 20130 comments

23 MEI 2013. Jam menunjukkan pukul 13.15 WIB. Saat itu, sosok tubuh ringkih terbaring lemah di ruang ICU, Rumah Sakit Umum Cut Meutia (RSUCM) Aceh Utara berada di Buket Rata, Lhokseumawe. Tubuh itu tepat berada di sudut ruangan putih. Itulah ayahku, Zainal Abidin Sambo. Saat itu, detik terakhir beliau di dunia ini. Beliau pergi dengan seulas senyum di bibir. Tenang. Pergi tak kan kembali. Selamanya.

Sebelumnya, ayah mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit PMI Lhokseumawe. Tujuh hari di rumah sakit swasta itu. Beliau divonis mengidap penyakit leaver. Sepertinya akut. Maklum, selama ini beliau menetap di Kutacane, Aceh Tenggara. Bersama seorang adik tiriku dan ibu tiriku tentunya. Sedangkan, aku dan dua abangku bersama ibuku menetap di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Wajar saja kami jarang komunikasi dengan beliau. Beda kota, beda tempat, menjadi ruang pemisah.

Kami baru tahu beliau sakit sekitar 13 Mei 2013 pukul 20.00 WIB. Kabar itu kuperoleh dari Pakcik Pukak, adik tiri ayahku di Kutacane. Malam itu juga, seluruh anak ayah di Lhokseumawe membahas siapa yang menjemput ayah ke kota Leuser itu. Disepati, Bang Hatta yang menjemput. Langsung membawa ambulance dari Lhokseumawe ke Kutacane.

14 Mei 2013, usai subuh aku menerima kabar bahwa Ayah hampir tiba di Lhokseumawe. Ruangan perawatan di Rumah Sakit PMI telah dipesan sejak sehari sebelumnya. Pagi buta itu lah kulihat sosok yang hampir tak kukenali. Wajah tirus. Rahang mencuat ke atas. Rusuk tercetak jelas. Ini seperti bukan tubuh ayah. Dalam perjalanan hidupnya, ayah tak pernah sekurus itu. Dia tipe pria penjaga berat badan ideal. Kali ini, tubuh kurus dengan perut membuncit. Ini sangat mengerikan sekali.

Kupikir, ayah sudah lama sakit. Mungkin sebulan yang lalu. Namun, kami baru mengetahuinya. Ibu tiriku mungkin enggan mengabari kami.

Namun, kali ini dia super kurus. Kucium tangannya. Masih mengenaliku. Namun, suaranya lemah. Samar-samar. Harus mendekatkan telinga ke mulut ayah untuk mengetahui apa yang dikatakannya. Meski begitu, selera humornya masih tetap bagus. Dia masih tertawa ketika aku dan Rico, keponakkan ayah salah mengangkat tubuhnya. Rencana diangkat ke kasur. Namun, karena Rico berada di kasur, malah terangkat ke atas pangkuan Rico. Ayah terkekeh. Dengan suara tetap lemah.

Ayah jarang sakit. Seingatku, hanya tiga kali dia sakit. Pertama sakit Malaria sekitar tahun 1999. Kedua patah kaki kiri dan telapak kaki kiri enam bulan lalu. Di rawat di RSAP Medan (aku dan abangku menjaganya selama 45 hari di rumah sakit ini). Ketiga ya sakit leaver ini.

Hari pertama di Rumah Sakit PMI. Sekitar pukul 09.30 WIB, aku sudah tahu bahwa ayah mengidap penyakit leaver akut. Uji lab menunjukkan gula darahnya rendah. Waktu itu, dua kakakku, Cut dan Siti Hajar menjaga beliau. Aku masih kerja seperti biasanya. Mereka ini menetap di Singkil. Pulang, untuk mengetahui kondisi ayah. Merekalah yang bertugas menjaga ayah hari pertama. Transfusi darah dilakukan dua kantong. Selain itu, asupan makanan bergula seperti teh manis dan penganan lainnya terus diberikan.

Hari kedua, kondisi ayah mulai membaik. Sehari-hari ayah dijaga Rico. Sedangkan aku bergabung di rumah sakit malam hari. Abang-abangku, Hatta dan Samsul bergabung sore hari. Untuk jaga malam, kami lakukan secara bergantian.

Seiring perjalanan waktu. Kondisi ayah terus membaik. Hari ketujuh di Rumah Sakit PMI. Dokter merekomendasikan ayah sudah bisa dibawa pulang. Aku membeli obat oral pagi hari untuk di konsumsi ayah selama di rumah. Saat itu, ibu kandungku sudah bergabung di rumah sakit. Dua kakakku pun pulang ke rumahnya di Singkil. Ayah bahkan sudah tertawa dan suaranya semakin jelas. Bahkan sudah bisa duduk dengan baik. Kami berencana pulang sore hari. Agar cuaca lebih sejuk. Tak sepanas siang itu.

Namun, sekitar pukul 13.00 WIB hari itu kondisi ayah mulai memburuk. Istriku baru saja menyulanginya makan siang. Lalu ayah tertidur. Mau istirahat katanya. Pukul 15.00 WIB, hari yang sama ayah belum bangun tidur juga. Kakak iparku, kebetulan seorang dokter lalu membangunkan ayah. Ah, ternyata ayah pingsan.

Kami memanggil perawat seterusnya dokter. Rekomendasi dokter ayah harus masuk ke ICU. Kami segera membawanya ke ICU RSUCM. ICU itu penuh. Harus antre sejam. Menunggu pasien lain keluar.

Sejak masuk ICU itu lah kondisinya semakin memburuk. Selang oksigen tak bisa dilepas di hidungnya. Dia sulit bernafas. Ibuku, setia di samping. Sesekali mengajak ayah membaca surah-surah pendek. Ayah mengikuti ibu. Lamat-lamat.

Hari kesepuluh di Aceh Utara(7 hari di RS PMI dan 3 hari di RSUCM),   atau hari ketiga di RSUCM kondisi ayah tambah parah. Bahkan, tak bisa makan lewat mulut. Pagi hari dokter memasang selang. Siangnya, ayah telah pamit. Meminta maaf pada ibu untuk pergi selama-lamanya.

Saat itu, aku baru saja selesai mewawancarai seorang narasumber. Baru mengambil sepeda motor menuju kantor. Seorang saudara yang bekerja di RSUCM, mengabari bahwa aku harus segera ke rumah sakit. Kondisi ayah kritis. Kutelepon istriku yang sejak pagi sudah di rumah sakit. Dia mengatakan ayah telah tiada. Kukebut sepeda motor ke rumah sakit. Aku jarang menangis. Seingatku, ini kali kedua aku menangis. Pertama ketika Felo—anakku—meninggal dunia. Kedua,ketika ayahku meninggal dunia.

Mantan Tentara
Menurut cerita ibuku, dulu saat lajang ayah pernah masuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dia dinyatakan lulus dan telah mengikuti latihan dua pekan.  Selama dua pekan, dia makan nasi ransum, saat ini kualitasnya sangat buruk. Ransum berkutu.

Ini pula yang menjadi alasan ayahku meninggalkan lokasi latihan. Dia cabut. Desersi dan tak pernah kembali. Pada kakekku, ayah mengaku tak betah latihan bukan karena takut dengan pelatih. Namun, karena makanannya tak enak.

“Di rumah nenekku saja aku tak pernah makan nasi ada kutunya. Di rumah bapak, lebih-lebih. Bapakku saudagar. Tak mungkin kami makan nasi busukm” ujar ayahku satu waktu.

Kakekku—Gombol Sambo—diam saja. Dia tak memaksa anak pertamanya itu. Saat itu, bisnis ekspor kerbau dan palawija kakek dari Aceh ke Malaysia berkembang pesat. Tak masalah jika putra pertamanya itu tak memiliki pekerjaan tetap.

Belakangan kakek bangkrut. Lima kapal laut plus barang miliknya karam saat menuju Malaysia. Setelah itu, kakek hidup dari tabungan dan hasil kebun kemiri miliknya.

Sedangkan ayahku, belum bekerja sama sekali. Namun, uniknya meski pegangguran, hanya modal mantan anak orang kaya, ayah berhasil memikat hati ibuku. Cinta memang buta. Mereka pun menikah dan melahirkan empat putra dan empat putri. Aku anak bungsu hasil hubungan cinta itu.

Pindah
Setelah menikah, ayah dan ibu pindah ke Aceh Utara. Tepatnya Desa Paya Lueng Jalo, Pirak Timu. Dulu belum ada desa itu. Ayahku, orang pertama bersama tujuh warga lainnya menerabas hutan, menyulapnya menjadi desa. Membangun meunasah untuk tempat ibadah dan lain sebagainya.

Waktu melaju. Ayah menemukan bisnis baru. Dia menjadi distributor bibit rambutan. Daerah penjualannya sampai ke Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Ayah akrab disapa Toke Jinggo atau Bung Jinggo kala itu. Entah darimana pula dia mendapat nama itu.

Setelah mampu menabung. Ayah dan ibu pindah lagi ke Kutacane. Membangun rumah dan membeli beberapa petak sawah di Kuta Cane Lama. Kebun yang di Paya Lueng Jaloe sebagian di jual. Pertimbangannya, sebagian abang dan kakakku sudah memasuki usia sekolah. Kala itu, sekolah satu-satunya hanya ada di Lhoksukon. Sekitar 20 kilometer dari Paya Lueng Jaloe. Jarak yang sangat sulit ditempuh.

Namun, di sini ayah kurang beruntung. Dia tak bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus. Sedangkan ibu mulai jualan buah di pasar. Pendapatan tak seberapa. Sedangkan anaknya sudah delapan orang. Tentu tak cukup.

Tahun 1999, ayah dan ibu pindah lagi ke Paya Lueng Jaloe. Kembali bercocok tanam. Baru tahun 2004, ayah kembali lagi ke Kutacane. Ibu tetap di Aceh Utara. Namun pindah desa dari Paya Lueng Jalo ke Alue Rimee lalu terakhir ke Desa Serdang. Semuanya di Pirak Timu.

Cuek
Tipe ayahku ini cuek. Super cuek. Urusan sekolah kami seluruhnya di serahkan ke ibu. Praktis semua keluhan kami di tampung ibu. Jika cerita ke ayah, langsung dijawab, sampaikan ke ibumu.

Satu lagi, ayah sangat rapi. Selalu masuk dalam. Yang aneh, mengapa sandalnya selalu sandal jepit. Sedangkan celana dan baju selalu harga mahal. Ini belum terjawab.

Kini, beliau telah pergi. Dimakamkan di Desa Paya Lueng Jaloe. Tempat dimana dia dulu menerabas hutan dan membuka kampung. Selamat jalan ayah.  

Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger