Sebelumnya,
ayah mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit PMI Lhokseumawe. Tujuh hari di
rumah sakit swasta itu. Beliau divonis mengidap penyakit leaver. Sepertinya
akut. Maklum, selama ini beliau menetap di Kutacane, Aceh Tenggara. Bersama
seorang adik tiriku dan ibu tiriku tentunya. Sedangkan, aku dan dua abangku
bersama ibuku menetap di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Wajar saja kami jarang
komunikasi dengan beliau. Beda kota, beda tempat, menjadi ruang pemisah.
Kami
baru tahu beliau sakit sekitar 13 Mei 2013 pukul 20.00 WIB. Kabar itu kuperoleh
dari Pakcik Pukak, adik tiri ayahku di Kutacane. Malam itu juga, seluruh anak
ayah di Lhokseumawe membahas siapa yang menjemput ayah ke kota Leuser itu. Disepati, Bang Hatta yang menjemput.
Langsung membawa ambulance dari Lhokseumawe ke Kutacane.
14
Mei 2013, usai subuh aku menerima kabar bahwa Ayah hampir tiba di Lhokseumawe.
Ruangan perawatan di Rumah Sakit PMI telah dipesan sejak sehari sebelumnya.
Pagi buta itu lah kulihat sosok yang hampir tak kukenali. Wajah tirus. Rahang
mencuat ke atas. Rusuk tercetak jelas. Ini seperti bukan tubuh ayah. Dalam
perjalanan hidupnya, ayah tak pernah sekurus itu. Dia tipe pria penjaga berat
badan ideal. Kali ini, tubuh kurus dengan perut membuncit. Ini sangat mengerikan sekali.
Kupikir,
ayah sudah lama sakit. Mungkin sebulan yang lalu. Namun, kami baru
mengetahuinya. Ibu tiriku mungkin enggan mengabari kami.
Namun, kali ini dia super kurus. Kucium tangannya.
Masih mengenaliku. Namun, suaranya lemah. Samar-samar. Harus mendekatkan telinga ke mulut ayah untuk mengetahui apa
yang dikatakannya. Meski begitu, selera humornya masih tetap bagus. Dia masih
tertawa ketika aku dan Rico, keponakkan ayah salah mengangkat tubuhnya. Rencana
diangkat ke kasur. Namun, karena Rico berada di kasur, malah terangkat ke atas
pangkuan Rico. Ayah terkekeh. Dengan suara tetap lemah.
Ayah
jarang sakit. Seingatku, hanya tiga kali dia sakit. Pertama sakit Malaria
sekitar tahun 1999. Kedua patah kaki kiri dan telapak kaki kiri enam bulan
lalu. Di rawat di RSAP Medan
(aku dan abangku menjaganya selama 45 hari di rumah sakit ini). Ketiga ya sakit
leaver ini.
Hari
pertama di Rumah Sakit PMI. Sekitar pukul 09.30 WIB, aku sudah tahu bahwa ayah
mengidap penyakit leaver akut. Uji lab menunjukkan gula darahnya rendah. Waktu
itu, dua kakakku, Cut dan Siti Hajar menjaga beliau. Aku masih kerja seperti
biasanya. Mereka ini menetap di Singkil. Pulang, untuk mengetahui kondisi ayah. Merekalah yang
bertugas menjaga ayah hari pertama. Transfusi darah dilakukan dua kantong.
Selain itu, asupan makanan bergula seperti teh manis dan penganan lainnya terus
diberikan.
Hari
kedua, kondisi ayah mulai membaik. Sehari-hari ayah dijaga Rico. Sedangkan aku bergabung di rumah sakit malam hari.
Abang-abangku, Hatta dan Samsul bergabung sore hari. Untuk jaga malam, kami
lakukan secara bergantian.
Seiring
perjalanan waktu. Kondisi ayah terus membaik. Hari ketujuh di Rumah Sakit PMI.
Dokter merekomendasikan ayah sudah bisa dibawa pulang. Aku membeli obat oral
pagi hari untuk di konsumsi ayah selama di rumah. Saat itu, ibu kandungku sudah bergabung di rumah sakit. Dua kakakku pun
pulang ke rumahnya di Singkil. Ayah bahkan sudah tertawa dan suaranya semakin
jelas. Bahkan sudah bisa duduk dengan baik. Kami berencana pulang sore hari.
Agar cuaca lebih sejuk. Tak sepanas siang itu.
Namun, sekitar pukul 13.00 WIB hari itu kondisi ayah
mulai memburuk. Istriku baru saja menyulanginya makan siang. Lalu ayah
tertidur. Mau istirahat katanya. Pukul 15.00 WIB, hari yang sama ayah belum
bangun tidur juga. Kakak iparku, kebetulan seorang dokter lalu membangunkan
ayah. Ah, ternyata ayah pingsan.
Kami
memanggil perawat seterusnya dokter. Rekomendasi dokter ayah harus masuk ke
ICU. Kami segera membawanya ke ICU RSUCM. ICU itu penuh. Harus antre sejam.
Menunggu pasien lain keluar.
Sejak
masuk ICU itu lah kondisinya semakin memburuk. Selang oksigen tak bisa dilepas
di hidungnya. Dia sulit bernafas.
Ibuku, setia di samping. Sesekali mengajak ayah membaca surah-surah pendek.
Ayah mengikuti ibu. Lamat-lamat.
Hari
kesepuluh di Aceh Utara(7 hari di RS PMI dan 3 hari di RSUCM), atau hari ketiga di RSUCM kondisi ayah
tambah parah. Bahkan, tak bisa makan lewat mulut. Pagi hari dokter memasang
selang. Siangnya, ayah telah pamit. Meminta maaf pada ibu untuk
pergi selama-lamanya.
Saat
itu, aku baru saja selesai mewawancarai seorang narasumber. Baru mengambil sepeda motor menuju kantor.
Seorang saudara yang bekerja di RSUCM, mengabari bahwa aku harus segera ke
rumah sakit. Kondisi ayah kritis. Kutelepon istriku yang sejak pagi sudah di
rumah sakit. Dia mengatakan ayah telah tiada. Kukebut sepeda motor ke rumah
sakit. Aku jarang menangis. Seingatku, ini kali kedua aku menangis. Pertama
ketika Felo—anakku—meninggal dunia. Kedua,ketika ayahku meninggal dunia.
Mantan Tentara
Menurut
cerita ibuku, dulu saat lajang ayah pernah masuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dia dinyatakan lulus dan telah mengikuti
latihan dua pekan. Selama dua pekan, dia
makan nasi ransum, saat ini kualitasnya sangat buruk. Ransum berkutu.
Ini
pula yang menjadi alasan ayahku meninggalkan lokasi latihan. Dia cabut. Desersi
dan tak pernah kembali. Pada kakekku, ayah mengaku tak betah latihan bukan
karena takut dengan pelatih. Namun, karena makanannya tak enak.
“Di
rumah nenekku saja aku tak pernah makan nasi ada kutunya. Di rumah bapak,
lebih-lebih. Bapakku saudagar. Tak mungkin kami makan nasi busukm” ujar ayahku
satu waktu.
Kakekku—Gombol
Sambo—diam saja. Dia tak memaksa anak pertamanya itu. Saat itu, bisnis ekspor
kerbau dan palawija kakek dari Aceh ke Malaysia berkembang pesat. Tak masalah jika putra
pertamanya itu tak memiliki pekerjaan tetap.
Belakangan
kakek bangkrut. Lima kapal laut plus barang miliknya karam saat menuju Malaysia. Setelah itu, kakek hidup dari tabungan dan hasil
kebun kemiri miliknya.
Sedangkan ayahku, belum bekerja sama sekali. Namun,
uniknya meski pegangguran, hanya modal mantan anak orang kaya, ayah berhasil memikat hati ibuku. Cinta memang
buta. Mereka pun menikah dan melahirkan empat putra dan empat putri. Aku anak
bungsu hasil hubungan cinta itu.
Pindah
Setelah
menikah, ayah dan ibu pindah ke Aceh Utara. Tepatnya Desa Paya Lueng Jalo,
Pirak Timu. Dulu belum ada desa itu. Ayahku, orang pertama bersama tujuh warga lainnya menerabas
hutan, menyulapnya menjadi desa. Membangun meunasah untuk tempat ibadah dan
lain sebagainya.
Waktu
melaju. Ayah menemukan bisnis baru. Dia menjadi distributor bibit rambutan.
Daerah penjualannya sampai ke Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Ayah akrab disapa
Toke Jinggo atau Bung Jinggo kala itu. Entah darimana pula dia mendapat nama
itu.
Setelah
mampu menabung. Ayah dan ibu pindah lagi ke Kutacane. Membangun rumah dan
membeli beberapa petak sawah di Kuta Cane Lama. Kebun yang di Paya Lueng Jaloe
sebagian di jual. Pertimbangannya, sebagian abang dan kakakku sudah memasuki
usia sekolah. Kala itu, sekolah satu-satunya hanya ada di Lhoksukon. Sekitar 20
kilometer dari Paya Lueng Jaloe. Jarak yang sangat sulit ditempuh.
Namun, di sini ayah kurang beruntung. Dia tak bisa
mendapatkan pekerjaan yang bagus. Sedangkan ibu mulai jualan buah di pasar.
Pendapatan tak seberapa. Sedangkan anaknya sudah delapan orang. Tentu tak cukup.
Tahun
1999, ayah dan ibu pindah lagi ke Paya Lueng Jaloe. Kembali bercocok tanam.
Baru tahun 2004, ayah kembali lagi ke Kutacane. Ibu tetap di Aceh Utara. Namun
pindah desa dari Paya Lueng Jalo ke Alue Rimee lalu terakhir ke Desa Serdang.
Semuanya di Pirak Timu.
Cuek
Tipe
ayahku ini cuek. Super cuek. Urusan sekolah kami seluruhnya di serahkan ke ibu.
Praktis semua keluhan kami di tampung ibu. Jika cerita ke ayah, langsung
dijawab, sampaikan ke ibumu.
Satu
lagi, ayah sangat rapi. Selalu masuk dalam. Yang aneh, mengapa sandalnya selalu
sandal jepit. Sedangkan celana dan baju selalu harga mahal. Ini belum terjawab.
Kini,
beliau telah pergi. Dimakamkan di Desa Paya Lueng Jaloe. Tempat dimana dia dulu
menerabas hutan dan membuka kampung. Selamat jalan ayah.
Post a Comment