Jadi Dokter

Wednesday, September 4, 20130 comments



SORE ini hujan baru menyapu alam.  Membasahi pohon kupula yang meranggas. Ini jam menunjukkan pukul 18.35 WIB. Aku dan Jafar masih di kantor. Masih berkutat pada kubikel masing-masing. Berkutat dengan data-data untuk diolah menjadi berita. Disajikan besok pagi pada pembaca koran.

Biasanya, jam segini kamu sudah menelpon. Tapi,hari ini tidak. Kutelepon ke rumah. Ternyata kamu sedang tidur pulas. Kata ibumu, dari siang tadi kamu tak mau tidur. Sibuk mengambil buah jambu di samping rumah. Jambu-jambu berwarna putih pucat itu menjadi mainan yang menarik buatmu. Kuluruskan kaki ke kolong meja. Bersandar di sandaran kursi usang ini. Melemaskan otot-otot pinggang,punggung dan tangan yang mulai kaku. Hujan terus menderu.

Kini, usiamu memasuki 16 bulan. Semakin lucu. Semakin pandai bicara. Hehehe, setiap kali bicara, kau selalu menimbulkan gelak tawa. Bisa menghilangkan beban di kepalaku.  Ah, semoga kau kelak tak menjadi pelawak.

Karena, kau tahu Arza, aku ingin kau menjadi dokter. Ya, jika bisa dokter spesialis kandungan. Karena, aku ingin, apa yang kami alami dulu tidak terulang lagi pada orang lain. Dulu, ketika ibumu mengandung anak pertama dan keguguran dokter kandungan di kota ini selalu acuh. Begitu juga saat ibumu mengandung anak kedua.

Saat itu, kandungan ibumu berusia enam bulan. Hasil USG menunjukkan jenis kelaminnya wanita. Satu sore, aku merasa ada yang aneh pada perut ibumu. Sepertinya agak kecil dibanding biasanya. Lalu, malam itu kami datangi seorang dokter spesialis kandungan tertua di kota ini. Dia menyatakan anak dalam kandungan sudah meninggal dunia. Jujur saja, kami tak siap mendengar pernyataan ini. Dokter ini lembut, santun dan sangat hati-hati menyampaikan hasil analisisnya.

Karena ragu, aku dan ibumu mendatangi dokter kedua. Dokter ini katanya paling ganteng, paling banyak pasien di kota ini. Analisisnya sama. Anak dikandungan ibumu sudah tak bergerak. “Harus dioperasi segera. Jika tidak, ibu yang mati,” kata dokter itu.

Kalimatnya cadas. Menggunakan kata “mati” untuk orang yang berduka karena kehilangan buah hati kupikir bukan kata-kata yang tepat. Ini jenis dokter tak beradab. Kau jangan seperti ini nanti.  Bicaralah baik-baik. Toh, tujuan komunikasi adalah menyampaikan pesan pada orang lain. Jika pesan itu diterima dalam arti sebenarnya maka kamu dinyatakan komunikatif. Tak perlu marah-marah kan.

Kami periksa lagi ke dokter yang ketiga. Kali ini dokternya wanita. Analisisnya juga sama. Cara menyampaikannya tetap saja cuek. Seolah-olah kita ini gratisan, tidak bayar saat memeriksa kandungan.

Kami kembali pada dokter yang pertama. Beliau menyarankan agar anak yang meninggal di kandungan ibumu itu dilahirkan secara normal. Istilah kedokterannya disinto. Dua hari dan tiga malam ibumu disinto, sehingga keluarlah bayi mungil, merah, kaku. Bayi itu wanita. Kuberi nama dia Felomena. Dia kakakmu. Kami makamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe.

Sejak saat itu, aku dan ibumu menginginkan agar kelak kau menjadi dokter. Agar bisa menolong masyarakat lain, dengan cara yang santun, lembut dan tak perlu kasar.  Karena kami sadar, keuangan kami terbatas, sejak kau berusia satu bulan, kami mendaftarkanmu dalam program asuransi pendidikan. Kelak, semoga uang asuransi itu bisa membayar uang kuliahmu di fakultas kedokteran.


usai senja | sudut kantor | 04092013
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger