SORE ini hujan baru menyapu alam. Membasahi pohon kupula yang meranggas. Ini
jam menunjukkan pukul 18.35 WIB. Aku dan Jafar masih di kantor. Masih berkutat
pada kubikel masing-masing. Berkutat dengan data-data untuk diolah menjadi
berita. Disajikan besok pagi pada pembaca koran.
Biasanya,
jam segini kamu sudah menelpon. Tapi,hari ini tidak. Kutelepon ke rumah.
Ternyata kamu sedang tidur pulas. Kata ibumu, dari siang tadi kamu tak mau
tidur. Sibuk mengambil buah jambu di samping rumah. Jambu-jambu berwarna putih
pucat itu menjadi mainan yang menarik buatmu. Kuluruskan kaki ke kolong meja. Bersandar
di sandaran kursi usa ng ini. Melemaskan otot-otot pinggang,punggung dan tangan yang mulai
kaku. Hujan terus menderu.
Kini,
usiamu memasuki 16 bulan. Semakin lucu. Semakin pandai bicara. Hehehe, setiap
kali bicara, kau selalu menimbulkan gela k tawa. Bisa menghilangkan beban di kepalaku. Ah, semoga kau kelak tak menjadi pelawak.
Karena,
kau tahu Arza, aku ingin kau menjadi dokter. Ya, jika bisa dokter spesialis kan dungan. Karena, aku ingin, apa yang kami alami dulu
tidak terulang lagi pada oran g
lain. Dulu, ketika ibumu mengandung anak pertama dan keguguran dokter kandungan
di kota ini selalu acuh. Begitu juga saat ibumu mengandung
anak kedua.
Saat
itu, kan dungan ibumu berusia enam bulan. Hasil USG
menunjukkan jenis kelaminnya wanita. Satu sore, aku merasa ada yang aneh pada peru t ibumu. Sepertinya agak kecil dibanding biasanya. Lalu,
malam itu kami datangi seorang dokter spesialis kandungan tertua di kota ini. Dia menyatakan anak dalam kan dungan sudah meninggal dunia. Jujur saja, kami tak
siap menden gar pernyataan ini. Dokter ini lembut, santun dan
sangat hati-hati menyampaikan hasil analisisnya.
Karena
ragu, aku dan ibumu mendatangi dokter kedua. Dokter ini katanya paling ganteng,
paling banyak pasien di kota
ini. Analisisnya sama. Anak dikandungan ibumu sudah tak bergerak. “Harus
dioperasi segera. Jika tidak, ibu yang mati,” kata dokter itu.
Kalimatnya
cadas. Menggunakan kata “mati” untuk orang yang berduka karena kehilangan buah
hati kupikir bukan kata-kata yang tepat. Ini jenis dokter tak beradab. Kau jangan
seperti ini nanti. Bicaralah baik-baik. Toh, tujuan komunikasi adalah
menyampaikan pesan pada oran g
lain. Jika pesan itu diterima dalam arti sebenarnya maka kamu dinyatakan
komunikatif. Tak perlu marah-marah kan .
Kami
periksa lagi ke dokter yang ketiga. Kali ini dokternya wanita. Analisisnya juga
sama. Cara menyampaikannya tetap saja cuek. Seolah-olah kita ini gratisan,
tidak bayar saat memeriksa kandungan.
Kami
kembali pada dokter yang pertama. Beliau menyarankan agar anak yang meninggal
di kandungan ibumu itu dilahirkan secara normal. Istilah kedokterannya disinto.
Dua hari dan tiga malam ibumu disinto, sehingga keluarlah bayi mungil, merah,
kaku. Bayi itu wanita. Kuberi nama dia Felomena. Dia kakakmu. Kami makamkan di
Tempat Pemakaman Umum (TPU) Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe.
Sejak
saat itu, aku dan ibumu menginginkan agar kelak kau menjadi dokter. Agar bisa
menolong masyarakat lain, dengan cara yang santun, lembut dan tak perlu kasar. Karena kami sadar, keuangan kami terbatas,
sejak kau berusia satu bulan, kami mendaftarkanmu dalam program asuransi
pendidikan. Kelak, semoga uang asuransi itu bisa membayar uang kuliahmu di
fakultas kedokteran.
usai senja | sudut kantor | 04092013
Post a Comment