PERSOALAN mendasar dalam dunia jurnalistik
kita saat ini yaitu isi atau konten berita. Isu yang paling sering dibahas adalah
masalah keberimbangan isi berita (cover
both sides). Dalam kode etik jurnalistik yang kita kenal di Indonesia, persoalan
keberimbangan ditempatkan pada pasal 1. Itu menandakan keberimbangan hukumnya
wajib dan sangat ditekankan pada jurnalis ketika hendak menulis berita. Bunyi
pasal itu yakni wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita
yang akurat, dan tidak beritikad buruk. Berimbang berarti semua pihak
mendapatkan kesempatan setara.
Maka, menjadi kewajiban jurnalis
Indonesia untuk taat etik dan berimbang. Pelanggaran terhadap aspek ini bukan
hanya merugikan para pihak yang terkait dengan pemberitaan itu, namun publik
atau masyarakat tidak mendapatkan informasi secara utuh, sehingga bisa
menimbulkan salah persepsi terhadap isi berita. Jika berita itu berimbang,
dipastikan masyarakat bisa melihat sisi lain dari pemberitaan itu. Misalnya,
publik bisa melihat bantahan dari seorang tersangka korupsi dalam berita-berita
tindak pidana korupsi.
Selama ini, masih ada media cetak di negeri ini yang membuat
konfirmasi berita pada bagian bawah tulisan. Sekilas pola berita ini sudah
berimbang. Namun, jika dilihat lebih jauh, menurut saya ini belum berimbang.
Mengapa? Tren masyarakat kita membaca koran/media cetak cenderung hanya membaca
judul dan paragraf pertama (lead) berita saja. Umumnya, masyarakat tidak mau
membaca sampai habis berita itu. Jika gaya penulisan berita meletakkan konfirmasi
pada barisan paling bawah, dipastikan pembaca tak sempat membaca bantahan dari
si tertuduh dalam berita itu. Idealnya, bantahan dari para pihak yang tertuduh
dalam berita itu sudah dimasukkan pada lead
berita. Sehingga, pembaca bisa melihat langsung bantahan tersebut pada
kesempatan pertama dia memegang koran/media cetak di tangannya. Pada akhirnya,
tidak ada yang dirugikan dalam berita itu. Media dan jurnalis yang menggunakan
gaya penulisan berita seperti ini bisa dikatakan patuh dan taat pada kode etik
jurnalistik pasal satu yaitu wartawan harus independen dan berimbang plus tidak beriktikad buruk. Ini baru soal keberimbangan berita.
Sekarang mari melihat keberimbangan media. Pemberitaan media
massa terus bergulir dari waktu ke waktu. Berpindah dari isu yang satu ke isu
lainnya. Mengejar unsur up date dalam
berita. Sebut saja misalnya, dalam berita ringan tentang tunjangan sertifikasi
guru yang belum dibayar. Ketika media memutuskan menulis berita tentang dana
tunjangan yang belum dibayar itu, seharusnya media juga menulis ketika
tunjangan itu dibayar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
RI pada para guru di Indonesia. Sebagian media menganggap bahwa, perbuatan baik
yang dilakukan oleh pemerintah pada rakyat merupakan satu kewajiban. Tak perlu
diberitakan. Layaknya kewajiban umat beragama menjalankan ritual ibadahnya.
Idealnya, ketika tunjangan belum dibayar diberitakan, begitu
juga sebaliknya, ketika tunjangan dibayarkan patut untuk ditulis juga. Ini keberimbangan
media.
Perlakuan berimbang juga harus dilakukan dalam pemberitaan hukum
yang lahir dari ruang pengadilan. Kerap kali jurnalis hanya menulis berita saat
sidang pertama dan sidang pamungkas digelar untuk satu kasus tertentu. Sidang pertama itu berisi dakwaan dari jaksa
penuntut umum (JPU) terhadap terdakwa. Isi dakwaan pasti menyatakan terdakwa
melanggar ketentuan hukum yang berlaku lengkap dengan ancaman hukuman
penjaranya. Sedangkan sidang pamungkas, berisi vonis hakim terhadap terdakwa. Idealnya,
untuk berita jenis ini, jurnalis mengikuti sidang pertama, lalu sidang dengan
agenda tuntutan, agenda pembelaan (pleidoi) dari terdakwa dan vonis hakim. Ini
sudah cukup berimbang. Jika ingin lebih netral, lebih lengkap memahami kasus
itu, maka ikutilah seluruh persidangan yang digelar di pengadilan tersebut. Cara
kerja jurnalis seperti ini sudah sangat berimbang.
KUBIKEL UJUNG
KANTOR | 21062013
Post a Comment