‘ Kalau ada rezeki, kami
pindah rumah hahaha,” jawabku sekenanya. Saat melihat rumah ini, aku dan ibumu
langsung sepakat. Waktu itu, seorang teman, Zakarias alias Bang Zek menawari
rumah itu. Katanya, pemiliknya sedang butuh uang cepat. Kujawab, kita tak punya
uang yang cukup juga buat beli rumah papan yang kusam itu.
Satu sore, aku dan ibumu
melihat rumah itu. Modelnya seperti kereta api. Panjang ke belakang. Di cat
warna kuning kusam. Ibumu langsung setuju. Aku juga. Kami tak pernah berpikir
harus rumah mewah. Kami nikmati saja apa yang ada.
Lagian, saat membeli rumah ini
serba mudah. Harganya hanya Rp 76 juta. Kami diizinkan mencicil selama enam
kali. Serba mudah kan. Rumah ini seakan berjodoh dengan kita. Dulu, di zaman
masih kos, dan ngontrak rumah, selalu mendapat rumah di sudut jalan. Kali ini,
rumahnya persis di ujung lorong sempit itu. Hanya bisa dilalui becak.
Akhirnya, cicilan rumah ini
lunas juga. Kini, rumah ini resmi menjadi rumah pertama kita. Entah kapan kita
sanggung merehabnya. Menjadi rumah permanen yang lebih nyaman untuk ditempati.
Bagiku dan ibumu, rumah ini juga sudah nyaman. Tapi, kupikir, kalian juga harus
merasakan rumah permanen yang nyaman.
Ya, doakan saja lah, biar kita
diberi rezeki oleh Allah. Kita bisa buat rumah ini menjadi yang lebih bagus dan
lebih menarik. Kamu harus yakin, selagi nyawa di badan, kesehatan masih menjadi
milik kita, dan terpenting atas izin Tuhan, kita pasti bisa merehab rumah ini
menjadi lebih baik.
sudut
kantor --20092013
Post a Comment