HARI ini, sepanjang perjalanan menyebrang laut cuaca sangat buruk. Sudah dua pekan Abi meninggalkan kau, Umimu dan Adong (nenek)mu nak. Abi dipromosikan untuk menduduki jabatan kepala biro perusahaan media (koran) di pulau terdepan di Sabang. Pulau yang indah, sejuk dengan warga yang ramah dan humoris ini tidak awalnya mulai membuatku nyaman. Pulau menyimpan keindahan alam bawah laut dan pantai yang mempesona dunia ini menawarkan keindahan duniawi. Kenyamanan mata sehingga turis saban hari mengunjungi pulau dengan 18 desa itu.
Abi
dan Umi sepakat untuk menghemat uang, akan pulang ke rumah kita di Lhokseumawe
dua kali dalam sebulan. Jarak yang harus Abi tempuh sekitar delapan jam
perjalanan. Dua jam menggunakan kapal fery dari Sabang-Banda Aceh. Enam jam
menggunakan bus dari Banda Aceh-Lhokseumawe.
Selama
dua pekan itu, saban hari Umimu mengirimkan fotomu nak. Miris membekap hati
tatkala melihat fotomu penuh bedak, sebagai obat penawar panas. Tubuhmu penuh
dengan bintik-bintik merah. Selama dua pekan itu pula, kau tak kunjung sembuh.
Padahal, Umi sudah membawamu ke dokter spesialis anak, membawa ke tukang urut
urat dan Adong memberikan kelapa muda sebagai penawar panas dalam.
Adong
jauh-jauh dari kampung sekitar 100 kilometer di pedalaman Lhokseumawe datang
khusus merawatmu. Sebenarnya, sejak Nek Wan (kakekmu) meninggal dunia, pindah
ke alam sana, Abi sudah meminta Adong untuk menetap bersama kita. Namun, Adong
bergeming. Wanita yang separuh nyawanya telah diberikan ke Abi dan tujuh anak
lainnya itu meminta agar tetap menetap di kampung. Karena kecintaannya
padamulah Nak, Adong datang. Ingin merawatmu dari dekat. Meninggalkan kebun
coklat yang tak seberapa luas. Meninggalkan kambing, bebek dan ayamnya.
Semuanya dikorbankan Adong demimu Nak.
Adong
juga yang mengabari Abi bagaimana kondisimu sebenarnya. Adong menyatakan bahwa
kondisimu sudah parah. Berat badan menurun drastis dan tubuhmu penuh
totol-totol merah.
Dua
hari setelah menerima telepon dari Adong, Abi putuskan meninggalkan Sabang. Ini
kali kedua menyebrang laut. Kali pertama, ketika Abi berangkat ke kota yang
hanya memiliki dua kecamatan ini.
Selama
dua jam diombang-ambing ombak, akhirnya kapal fery merapat ke Pelabuhan Ulee
Lhe. Riuh sanak saudara menyambut kedatangan para penumpang. Abi percepat
jalan, segera mencari ojek untuk menuju terminal bus dan berangkat ke
Lhokseumawe. Sejak pukul 09.00 WIB, Abi meninggalkan kamar kos di Sabang namun
baru tengah malam Abi tiba di rumah. Angkutan umum tak pernah mau mengerti
kebutuhan penumpang. Mereka hanya berfikir bagaimana seluruh kursi terisi
penumpang dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk anak dan istri.
“Sekarang
Adong menetap di rumah kalian. Biar anakmu ada yang merawat,” seru Adong,
menyambut kedatangan Abi, “tapi alangkah baiknya engkau meninggalkan
pekerjaanmu di Sabang. Mencari pekerjaan lain. Tidak baik meninggalkan keluarga
terlalu lama. Bisa menimbulkan fitnah. Siapa yang merawat anakmu, aku dan
ibunya? Aku sudah tua nak,” ujar Adong.
Kalimat
ini menggores hati Nak. Kalimat pasrah dari wanita ringkih yang telah mengucurkan
air mata dan keringatnya untuk membesarkan Abi. Tidak biasanya, Adong
mengeluarkan kalimat seperti itu. Selama ini, sosok Adong adalah sosok wanita
perkasa. Selalu tahan menghadapi cobaan. Dia membesarkan kami dalam suara
senjata yang menyalak selama 35 tahun lebih di Aceh. Konflik berkepanjangan tak
menyurutkan tekadnya untuk mencari sesuap nasi, menabung dan memberikan kami
pendidikan agama dan pendidikan formal yang layak.
Nak,
Adongmu wanita terhebat yang pernah Abi kenal. Namun, kali ini dia mulai
memminta perhatianku. Mengkhawatirkan siapa yang merawatnya. Usianya kini
menginjak kepala enam, pandangan mata mulai kabur, kulit mengkerut menyatu
dengan tulang. Renta.
Kepiluan
berikutnya, ketika engkau seakan meragukan bahwa Abi adalah Ayahmu. Berlari
kepangkuan Adong dan mengatakan takut saat melihat wajahku. Mungkin, wajahku
mulai pudar dalam rekaman ingatanmu.
“Lihat
anakmu saja mulai tak mengenalimu?” kata Adong dengan nada pelan. Nyaris tak
terdengar sembari membelai-belai rambutmu. Hatiku semakin miris ketika engkau
memberontak dan meminta turun dari gendonganku sembari berteriak takut....
“Ibu
berfirasat tak baik nak. Lebih baik engkau cari pekerjaan lain. Mundur dari
pekerjaan yang sekarang. Mundur baik-baik.”
“Bagaimana
kalau ibu dan kita semua pindah ke Sabang? Mencari pekerjaan zaman sekarang ini
agak susah bu?” jawabku dengan lembut sembari memijat kaki Adongmu. Engkau dan
Umimu pulas tertidur di kamar.
“Ibu
tidak akan pernah pindah ke sana. Ibu ingin mengakhiri masa tua di rumah papan
ini. Ibu senang di rumah ini. Jika kau pindah, pindahlah. Ibu tetap di sini?”
Sejurus
Adong terdiam. Menguyah sirih di mulutnya. “Walau aku kelaparan Nak, aku rela
dan ikhlas. Asal, engkau tetap bersama kami di rumah ini,” kata Adong lirih.
Air menganak di pelupuk matanya. Perlahan mengalir pelan. Membasahi pipi yang
mulai keriput dimakan usia.
“Tapi
siapa yang merawat ibu nanti? Siapa yang mengantarkan ibu ke dokter? Apakah ibu
mau ke tempat anak lainnya?”
“Nak.
Ibu bukan tidak mau ke tempat anak lainnya. Tapi, ibu ingin mengakhiri hidup
bersama kalian. Apakah kau keberatan dengan permintaan ibu?”
Aku
menggeleng. Sejak kecil,Abi sudah mengikralkan diri untuk berbakti pada Adongmu
Nak. Bagi Abi, pengorbanan Adongmu luar biasa. Dia rela menjadi buruh pembersih
lingkaran rumput di perkebunan sawit milik negara. Bekerja dari pagi hingga
Ashar hanya digaji Rp 3.500 di tahun 2000. Malamnya, dia mengayam tikar pandan
sampai ayam berkokok dan azan Subuh membangunkan warga. Matanya rabun karena
terlalu letih bekerja.
Sudah
saatnya Abi berbakti pada beliau. Sudah saatnya, apa yang Abi punya Abi berikan
pada beliau.
“Iya
Mak. Besok, saya coba minta ke kantor agar dipindahkan bekerja tak terlalu
jauh. Jika permintaan saya dipenuhi, saya tidak usah mundur. Jika tidak, saya
siap mundur dari pekerjaan sekarang. Saya siap berbakti pada Mamak.”
Jawaban
itu menenangkan Adongmu. Terbawa dalam mimpinya melewati malam.
Malam
itu juga, Abi sadar, kantor tak akan mengizinkan pindah ke kabupaten terkedat
dengan rumah kita. Abi ini jurnalis. Ibaratnya sama dengan militer negara yang
siap ditempatkan kapan saja dan dimana saja. Demi memenuhi kebutuhan publik
atas informasi. Nak, Abi mencintai pekerjaan ini. Bahkan, sejak mahasiswa Abi
sudah mulai belajar menulis berita, artikel dan cerita pendek. Semuanya untuk
mendalami kemampuan Abi menulis. Sejak tamat kuliah, Abi bekerja di media
terbesar di provinsi ini. Empat tahun mencari berita dan menyajikan informasi
dengan akurasi tinggi saban hari pada pembaca.
Namun,
Abi harus mencoba. Pepatah bijak mengatakan, jangan mundur sebelum bertempur.
Abi sudah terjun dalam pertempuran mencari berita di pulau terluar dan
berbatasan langsung dengan Samudera Hindia itu. Abi sudah merasakan kepiluan
dan kepedihan saat tak bisa merawat kau dan Adongmu Nak.
Hidup
adalah pilihan, dan Abi harus memilih. Pada akhirnya, kantor memang tak
mengizinkan pindah ke tempat yang dekat dengan lokasi rumah. Dan, dengan kepala
tegak, Abi bangga mundur dari kantor demi orang tua. Meski secara pendapatan
bulanan pasti mengalami goncangan. Tak apa. Hidup penuh liku mengikuti irama
waktu. Tinggal kita menyesuaikan melodi dan nada-nada agar terdengar syahdu.
Abi
yakin, keputusan ini direstui Allah. Engkau tahu, dalam sebuah hadis disebutkan
seorang sahabat pernah bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasulullah, siapa yang
paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?” Rasul menjawab, ibumu,
ibumu, ibumu, kemudian ayahmu, dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang
lebih dekat kepadamu.”
Perawi
hadis lainnya, Muslim menukilkan bahwa Rasul menyatakan janganlah mengabaikan
(membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa yang mengabaikan orang tuanya,
maka dia kafir.
Nak,
Abi ingin memberikan yang terbaik buat Adongmu. Abi ingin merawatnya sampai
akhir hayatnya. Memberikan segala kebutuhannya. Untuk sementara, sisa tabungan
selama bekerja, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita Nak. Termasuk membeli obat
penyakit jantung dan penyakit gula yang diderita Adong. Allah maha baik. Abi
yakin, Allah telah mengatur skenario baru untuk hidup kita. Dan, Nak,
pengorbananku ini, semoga menjadi renungan ketika engkau dewasa kelak.
Post a Comment