Meninggalkan Pekerjaan Demi Ibu

Thursday, April 10, 20140 comments


HARI ini, sepanjang perjalanan menyebrang laut cuaca sangat buruk. Sudah dua pekan Abi meninggalkan kau, Umimu dan Adong (nenek)mu nak. Abi dipromosikan untuk menduduki jabatan kepala biro perusahaan media (koran) di pulau terdepan di Sabang. Pulau yang indah, sejuk dengan warga yang ramah dan humoris ini tidak awalnya mulai membuatku nyaman. Pulau menyimpan keindahan alam bawah laut dan pantai yang mempesona dunia ini menawarkan keindahan duniawi. Kenyamanan mata sehingga turis saban hari mengunjungi pulau dengan 18 desa itu.
Abi dan Umi sepakat untuk menghemat uang, akan pulang ke rumah kita di Lhokseumawe dua kali dalam sebulan. Jarak yang harus Abi tempuh sekitar delapan jam perjalanan. Dua jam menggunakan kapal fery dari Sabang-Banda Aceh. Enam jam menggunakan bus dari Banda Aceh-Lhokseumawe.
Selama dua pekan itu, saban hari Umimu mengirimkan fotomu nak. Miris membekap hati tatkala melihat fotomu penuh bedak, sebagai obat penawar panas. Tubuhmu penuh dengan bintik-bintik merah. Selama dua pekan itu pula, kau tak kunjung sembuh. Padahal, Umi sudah membawamu ke dokter spesialis anak, membawa ke tukang urut urat dan Adong memberikan kelapa muda sebagai penawar panas dalam.
Adong jauh-jauh dari kampung sekitar 100 kilometer di pedalaman Lhokseumawe datang khusus merawatmu. Sebenarnya, sejak Nek Wan (kakekmu) meninggal dunia, pindah ke alam sana, Abi sudah meminta Adong untuk menetap bersama kita. Namun, Adong bergeming. Wanita yang separuh nyawanya telah diberikan ke Abi dan tujuh anak lainnya itu meminta agar tetap menetap di kampung. Karena kecintaannya padamulah Nak, Adong datang. Ingin merawatmu dari dekat. Meninggalkan kebun coklat yang tak seberapa luas. Meninggalkan kambing, bebek dan ayamnya. Semuanya dikorbankan Adong demimu Nak.
Adong juga yang mengabari Abi bagaimana kondisimu sebenarnya. Adong menyatakan bahwa kondisimu sudah parah. Berat badan menurun drastis dan tubuhmu penuh totol-totol merah.
Dua hari setelah menerima telepon dari Adong, Abi putuskan meninggalkan Sabang. Ini kali kedua menyebrang laut. Kali pertama, ketika Abi berangkat ke kota yang hanya memiliki dua kecamatan ini.
Selama dua jam diombang-ambing ombak, akhirnya kapal fery merapat ke Pelabuhan Ulee Lhe. Riuh sanak saudara menyambut kedatangan para penumpang. Abi percepat jalan, segera mencari ojek untuk menuju terminal bus dan berangkat ke Lhokseumawe. Sejak pukul 09.00 WIB, Abi meninggalkan kamar kos di Sabang namun baru tengah malam Abi tiba di rumah. Angkutan umum tak pernah mau mengerti kebutuhan penumpang. Mereka hanya berfikir bagaimana seluruh kursi terisi penumpang dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk anak dan istri.
“Sekarang Adong menetap di rumah kalian. Biar anakmu ada yang merawat,” seru Adong, menyambut kedatangan Abi, “tapi alangkah baiknya engkau meninggalkan pekerjaanmu di Sabang. Mencari pekerjaan lain. Tidak baik meninggalkan keluarga terlalu lama. Bisa menimbulkan fitnah. Siapa yang merawat anakmu, aku dan ibunya? Aku sudah tua nak,” ujar Adong.
Kalimat ini menggores hati Nak. Kalimat pasrah dari wanita ringkih yang telah mengucurkan air mata dan keringatnya untuk membesarkan Abi. Tidak biasanya, Adong mengeluarkan kalimat seperti itu. Selama ini, sosok Adong adalah sosok wanita perkasa. Selalu tahan menghadapi cobaan. Dia membesarkan kami dalam suara senjata yang menyalak selama 35 tahun lebih di Aceh. Konflik berkepanjangan tak menyurutkan tekadnya untuk mencari sesuap nasi, menabung dan memberikan kami pendidikan agama dan pendidikan formal yang layak.
Nak, Adongmu wanita terhebat yang pernah Abi kenal. Namun, kali ini dia mulai memminta perhatianku. Mengkhawatirkan siapa yang merawatnya. Usianya kini menginjak kepala enam, pandangan mata mulai kabur, kulit mengkerut menyatu dengan tulang. Renta.
Kepiluan berikutnya, ketika engkau seakan meragukan bahwa Abi adalah Ayahmu. Berlari kepangkuan Adong dan mengatakan takut saat melihat wajahku. Mungkin, wajahku mulai pudar dalam rekaman ingatanmu.
“Lihat anakmu saja mulai tak mengenalimu?” kata Adong dengan nada pelan. Nyaris tak terdengar sembari membelai-belai rambutmu. Hatiku semakin miris ketika engkau memberontak dan meminta turun dari gendonganku sembari berteriak takut....
“Ibu berfirasat tak baik nak. Lebih baik engkau cari pekerjaan lain. Mundur dari pekerjaan yang sekarang. Mundur baik-baik.”
“Bagaimana kalau ibu dan kita semua pindah ke Sabang? Mencari pekerjaan zaman sekarang ini agak susah bu?” jawabku dengan lembut sembari memijat kaki Adongmu. Engkau dan Umimu pulas tertidur di kamar.
“Ibu tidak akan pernah pindah ke sana. Ibu ingin mengakhiri masa tua di rumah papan ini. Ibu senang di rumah ini. Jika kau pindah, pindahlah. Ibu tetap di sini?”
Sejurus Adong terdiam. Menguyah sirih di mulutnya. “Walau aku kelaparan Nak, aku rela dan ikhlas. Asal, engkau tetap bersama kami di rumah ini,” kata Adong lirih. Air menganak di pelupuk matanya. Perlahan mengalir pelan. Membasahi pipi yang mulai keriput dimakan usia. 
“Tapi siapa yang merawat ibu nanti? Siapa yang mengantarkan ibu ke dokter? Apakah ibu mau ke tempat anak lainnya?”
“Nak. Ibu bukan tidak mau ke tempat anak lainnya. Tapi, ibu ingin mengakhiri hidup bersama kalian. Apakah kau keberatan dengan permintaan ibu?”
Aku menggeleng. Sejak kecil,Abi sudah mengikralkan diri untuk berbakti pada Adongmu Nak. Bagi Abi, pengorbanan Adongmu luar biasa. Dia rela menjadi buruh pembersih lingkaran rumput di perkebunan sawit milik negara. Bekerja dari pagi hingga Ashar hanya digaji Rp 3.500 di tahun 2000. Malamnya, dia mengayam tikar pandan sampai ayam berkokok dan azan Subuh membangunkan warga. Matanya rabun karena terlalu letih bekerja.
Sudah saatnya Abi berbakti pada beliau. Sudah saatnya, apa yang Abi punya Abi berikan pada beliau.
“Iya Mak. Besok, saya coba minta ke kantor agar dipindahkan bekerja tak terlalu jauh. Jika permintaan saya dipenuhi, saya tidak usah mundur. Jika tidak, saya siap mundur dari pekerjaan sekarang. Saya siap berbakti pada Mamak.”
Jawaban itu menenangkan Adongmu. Terbawa dalam mimpinya melewati malam.
Malam itu juga, Abi sadar, kantor tak akan mengizinkan pindah ke kabupaten terkedat dengan rumah kita. Abi ini jurnalis. Ibaratnya sama dengan militer negara yang siap ditempatkan kapan saja dan dimana saja. Demi memenuhi kebutuhan publik atas informasi. Nak, Abi mencintai pekerjaan ini. Bahkan, sejak mahasiswa Abi sudah mulai belajar menulis berita, artikel dan cerita pendek. Semuanya untuk mendalami kemampuan Abi menulis. Sejak tamat kuliah, Abi bekerja di media terbesar di provinsi ini. Empat tahun mencari berita dan menyajikan informasi dengan akurasi tinggi saban hari pada pembaca.
Namun, Abi harus mencoba. Pepatah bijak mengatakan, jangan mundur sebelum bertempur. Abi sudah terjun dalam pertempuran mencari berita di pulau terluar dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia itu. Abi sudah merasakan kepiluan dan kepedihan saat tak bisa merawat kau dan Adongmu Nak.
Hidup adalah pilihan, dan Abi harus memilih. Pada akhirnya, kantor memang tak mengizinkan pindah ke tempat yang dekat dengan lokasi rumah. Dan, dengan kepala tegak, Abi bangga mundur dari kantor demi orang tua. Meski secara pendapatan bulanan pasti mengalami goncangan. Tak apa. Hidup penuh liku mengikuti irama waktu. Tinggal kita menyesuaikan melodi dan nada-nada agar terdengar syahdu.
Abi yakin, keputusan ini direstui Allah. Engkau tahu, dalam sebuah hadis disebutkan seorang sahabat pernah bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?” Rasul menjawab, ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu, dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu.”
Perawi hadis lainnya, Muslim menukilkan bahwa Rasul menyatakan janganlah mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa yang mengabaikan orang tuanya, maka dia kafir.
Nak, Abi ingin memberikan yang terbaik buat Adongmu. Abi ingin merawatnya sampai akhir hayatnya. Memberikan segala kebutuhannya. Untuk sementara, sisa tabungan selama bekerja, cukup untuk memenuhi kebutuhan kita Nak. Termasuk membeli obat penyakit jantung dan penyakit gula yang diderita Adong. Allah maha baik. Abi yakin, Allah telah mengatur skenario baru untuk hidup kita. Dan, Nak, pengorbananku ini, semoga menjadi renungan ketika engkau dewasa kelak.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger