Abi sangat senang melihat tawa dan
senyum kalian pagi ini. Menghilangkan kebingunggan yang menumpuk di kepala.
Bagaimana pun, hari ini surat pengunduran diri telah Abi kirim menggunakan jasa
pos di kantor harian tempat Abi bekerja. Artinya, tinggal menunggu waktu, bahwa
Abi segera melepas status sebagai pekerja dan menerima status baru sebagai
pengangguran.
Pengangguran? Ah, rasanya tak sampai
hati membebani negeri ini untuk mengurus pengangguran yang terus bertambah dari
tahun ke tahun. Jika kantor menerima surat pengunduran diri Abi, maka
pengangguran bertambah satu orang. Dan, beban pemerintah bertambah satu orang
lagi. Selain itu, daerah ini akan terus menjadi pusat pengangguran di Aceh.
Nak, jika kondisi itu terjadi, maka
kondisi keuangan kita akan terancam. Kita tidak bisa lagi menabung setiap
bulan. Khawatir juga tak bisa membayar asuransi pendidikanmu yang sudah kami
cicil selama dua tahun terakhir ini bersama Umimu. Berharap dari gaji Umi,
tentu tidak cukup. Gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Umi dan biaya
operasional. Tak bisa diharapkan membantu membiayai kebutuhan dapur kita.
Tapi Nak, sejak sebelum menikah, Abi
sudah mengikrarkan diri sebagai laki-laki yang bertanggungjawab. Siap menikah,
berarti siap memberikan nafkah lahir dan batin untuk Umi dan seluruh hasil buah
cinta kami. Rezeki yang Abi peroleh dengan cara-cara halal. Sehingga, bisa
menjadi asupan protein untuk tubuhmu Nak.
Satu hal yang membuat Abi optimis
bahwa rezeki pasti ada jika kita giat berusaha adalah sebuah hadis yang
dituliskan oleh Athabrani yang isinya menyatakan bahwa sesungguhnya rezeki akan
mencari seorang hamba sebagaimana ajal mencarinya.
Nak, jika Allah memberikan rezeki
pada kita, pada Abi, percayalah rezeki itu tidak akan pindah ke kantung orang
lain. Sama halnya jika janji kita dengan Allah tiba waktunya. Manusia tak bisa mengelak.
Maut akan datang menjemputnya kemana pun kita bersembunyi.
Tawamu masih pecah terkekeh-kekeh
bersama Adong ketika Abi meninggalkan rumah, menuju kantor pos dan mengirimkan
surat pengunduran diri. Umimu, menyakinkan agar Abi tabah melewati cobaan ini
dan yakin pada keputusan yang Abi ambil. Bahwa keputusan itu adalah yang
terbaik demi Adong. Tidak ada gunanya hidup dimuka bumi ini, jika orang yang
membesarkan kita hidup terlunta-lunta. Tanpa ada yang memperhatikan dan
merawatnya.
“Yakinlah Bi, Allah akan
mendengarkan doa kita. Allah sangat memahami apa yang Abi rasakan sekarang ini.
Abi pasti pusing memikirkan belanja. Tabungan yang ada masih cukup untuk
membeli kebutuhan hidup. Pasti Abi dapat kerja baru, Umi yakin itu.”
Kalimat itu membuat Abi semakin
yakin. Umimu menguatkan Abi ditambah semangat Adong yang terus berdoa agar Abi
mendapatkan pekerjaan baru sebelum kantor resmi menerima surat pengunduran diri
Abi.
Setelah pulang dari kantor pos, Abi
teringat seorang teman yang sudah jarang Abi hubungi. Teman ini sangat baik.
Dia pernah kecewa karena Abi menolak ajakannya untuk melanjutkan studi magister
ke negeri Upin dan Ipin. Saat itu, Abi juga berpikir, jika Abi berangkat
kuliah, siapa yang merawat Adong. Lebih baik Abi bekerja, toh cita-cita Abi bekerja juga untuk membahagiakan Adong dan menata
hidup lebih baik.
Nak, keluarga Abi bukanlah keluarga
berada yang melimpah harta. Kami ini keluarga sangat terbatas, masuk kategori
di bawah garis kemiskinan. Bahkan, dulu, ketika Abi masih duduk di bangku SMP,
untuk makan saja susah. Hutang Adong tersebar di sejumlah warung. Catatan
hutang menghabiskan lembar demi lembar buku pemilik warung. Abi tak ingin Adong
susah lagi. Sehingga, saat itu Abi menolak tawaran teman itu untuk melanjutkan
pendidikan magister. Padahal, dia sudah menjamin memberikan beasiswa dan
tinggal bersamanya di negeri jiran.
“Abang di rumah, datang saja. Abang
tunggu,” begitu jawaban dari seberang telepon.
Rumah berlantai dua megah, bercat
putih bersih dengan taman yang tertata rapi itu tampak sepi. Penghuni rumah
sedang sibuk di dalam. Teman Abi menyambut hangat. Menghidangkan teh dan empat
potong kue. Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB.
“Bagaimana masalahnya, ceritanya
bagaimana, mengapa bisa mundur dari perusahaan itu. Kan, itu perusahaan bagus,
gajinya besar?”
Perlahan Abi ceritakan rangkaian
kronologis mengapa Abi memilih sikap mundur. Dia manggut-manggut. Sejurus
menarik nafas dalam-dalam.
“Jika tidak bisa merawat Ibu jadi
alasan mundur dari pekerjaan, Abang mendukungmu. Itu kamu anak yang berbakti.
Mulai besok kerja dengan Abang. Nanti, Abang yakinkan pimpinan untuk menerimamu
bekerja. Gajinya kecil, tapi cukuplah,” ujarnya.
Jawaban itu menyejukkan hati Nak.
Jujur, Abi tak menyangka secepat itu Allah menjawab doa Adong, Umi, dan doa
Abi. Allah maha tahu, maha segalanya. Sehingga, dia bisa merasakan apa yang Abi
rasakan.
Mulai besok, Abi resmi bekerja di
sebuah perguruan tinggi negeri. Berbagi ilmu dan mengelola media internal
merupakan bidang pekerjaan yang Abi senangi. Nak, yakinlah, Allah memberikan
rezeki berlimpah. Abi sudah merasakannya.
Sekarang, mari kita menata hidup
lagi. Merawat Adong sembari menyusun program masa depan. Bukan hanya untuk kita
pribadi. Namun, sedapat mungkin, kita bisa berbagi dengan sesama Nak.
Post a Comment