Tuhan Menjamin Rezeki

Saturday, April 12, 20140 comments

PAGI ini, matahari begitu cerah. Secerah wajah dan senyum Adong yang duduk santai di kursi depan rumah. Tubuh ringkihnya bersandar di kursi kayu memanjang sekitar dua meter. Membiarkanmu duduk di pangkuannya. Sesekali tingkahmu membuat Adong geli dan tawa pun membuncah diantara kalian.
            Abi sangat senang melihat tawa dan senyum kalian pagi ini. Menghilangkan kebingunggan yang menumpuk di kepala. Bagaimana pun, hari ini surat pengunduran diri telah Abi kirim menggunakan jasa pos di kantor harian tempat Abi bekerja. Artinya, tinggal menunggu waktu, bahwa Abi segera melepas status sebagai pekerja dan menerima status baru sebagai pengangguran.
            Pengangguran? Ah, rasanya tak sampai hati membebani negeri ini untuk mengurus pengangguran yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Jika kantor menerima surat pengunduran diri Abi, maka pengangguran bertambah satu orang. Dan, beban pemerintah bertambah satu orang lagi. Selain itu, daerah ini akan terus menjadi pusat pengangguran di Aceh.
            Nak, jika kondisi itu terjadi, maka kondisi keuangan kita akan terancam. Kita tidak bisa lagi menabung setiap bulan. Khawatir juga tak bisa membayar asuransi pendidikanmu yang sudah kami cicil selama dua tahun terakhir ini bersama Umimu. Berharap dari gaji Umi, tentu tidak cukup. Gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Umi dan biaya operasional. Tak bisa diharapkan membantu membiayai kebutuhan dapur kita.
            Tapi Nak, sejak sebelum menikah, Abi sudah mengikrarkan diri sebagai laki-laki yang bertanggungjawab. Siap menikah, berarti siap memberikan nafkah lahir dan batin untuk Umi dan seluruh hasil buah cinta kami. Rezeki yang Abi peroleh dengan cara-cara halal. Sehingga, bisa menjadi asupan protein untuk tubuhmu Nak.
            Satu hal yang membuat Abi optimis bahwa rezeki pasti ada jika kita giat berusaha adalah sebuah hadis yang dituliskan oleh Athabrani yang isinya menyatakan bahwa sesungguhnya rezeki akan mencari seorang hamba sebagaimana ajal mencarinya.
            Nak, jika Allah memberikan rezeki pada kita, pada Abi, percayalah rezeki itu tidak akan pindah ke kantung orang lain. Sama halnya jika janji kita dengan Allah tiba waktunya. Manusia tak bisa mengelak. Maut akan datang menjemputnya kemana pun kita bersembunyi.
            Tawamu masih pecah terkekeh-kekeh bersama Adong ketika Abi meninggalkan rumah, menuju kantor pos dan mengirimkan surat pengunduran diri. Umimu, menyakinkan agar Abi tabah melewati cobaan ini dan yakin pada keputusan yang Abi ambil. Bahwa keputusan itu adalah yang terbaik demi Adong. Tidak ada gunanya hidup dimuka bumi ini, jika orang yang membesarkan kita hidup terlunta-lunta. Tanpa ada yang memperhatikan dan merawatnya.
            “Yakinlah Bi, Allah akan mendengarkan doa kita. Allah sangat memahami apa yang Abi rasakan sekarang ini. Abi pasti pusing memikirkan belanja. Tabungan yang ada masih cukup untuk membeli kebutuhan hidup. Pasti Abi dapat kerja baru, Umi yakin itu.”
            Kalimat itu membuat Abi semakin yakin. Umimu menguatkan Abi ditambah semangat Adong yang terus berdoa agar Abi mendapatkan pekerjaan baru sebelum kantor resmi menerima surat pengunduran diri Abi.
            Setelah pulang dari kantor pos, Abi teringat seorang teman yang sudah jarang Abi hubungi. Teman ini sangat baik. Dia pernah kecewa karena Abi menolak ajakannya untuk melanjutkan studi magister ke negeri Upin dan Ipin. Saat itu, Abi juga berpikir, jika Abi berangkat kuliah, siapa yang merawat Adong. Lebih baik Abi bekerja, toh cita-cita Abi bekerja juga untuk membahagiakan Adong dan menata hidup lebih baik.
            Nak, keluarga Abi bukanlah keluarga berada yang melimpah harta. Kami ini keluarga sangat terbatas, masuk kategori di bawah garis kemiskinan. Bahkan, dulu, ketika Abi masih duduk di bangku SMP, untuk makan saja susah. Hutang Adong tersebar di sejumlah warung. Catatan hutang menghabiskan lembar demi lembar buku pemilik warung. Abi tak ingin Adong susah lagi. Sehingga, saat itu Abi menolak tawaran teman itu untuk melanjutkan pendidikan magister. Padahal, dia sudah menjamin memberikan beasiswa dan tinggal bersamanya di negeri jiran.
            “Abang di rumah, datang saja. Abang tunggu,” begitu jawaban dari seberang telepon.
            Rumah berlantai dua megah, bercat putih bersih dengan taman yang tertata rapi itu tampak sepi. Penghuni rumah sedang sibuk di dalam. Teman Abi menyambut hangat. Menghidangkan teh dan empat potong kue. Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB.
            “Bagaimana masalahnya, ceritanya bagaimana, mengapa bisa mundur dari perusahaan itu. Kan, itu perusahaan bagus, gajinya besar?”
            Perlahan Abi ceritakan rangkaian kronologis mengapa Abi memilih sikap mundur. Dia manggut-manggut. Sejurus menarik nafas dalam-dalam.
            “Jika tidak bisa merawat Ibu jadi alasan mundur dari pekerjaan, Abang mendukungmu. Itu kamu anak yang berbakti. Mulai besok kerja dengan Abang. Nanti, Abang yakinkan pimpinan untuk menerimamu bekerja. Gajinya kecil, tapi cukuplah,” ujarnya.
            Jawaban itu menyejukkan hati Nak. Jujur, Abi tak menyangka secepat itu Allah menjawab doa Adong, Umi, dan doa Abi. Allah maha tahu, maha segalanya. Sehingga, dia bisa merasakan apa yang Abi rasakan.
            Mulai besok, Abi resmi bekerja di sebuah perguruan tinggi negeri. Berbagi ilmu dan mengelola media internal merupakan bidang pekerjaan yang Abi senangi. Nak, yakinlah, Allah memberikan rezeki berlimpah. Abi sudah merasakannya.
            Sekarang, mari kita menata hidup lagi. Merawat Adong sembari menyusun program masa depan. Bukan hanya untuk kita pribadi. Namun, sedapat mungkin, kita bisa berbagi dengan sesama Nak.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | By Safrizal
Copyright © 2012. :: cerita tentang aceh:: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger