Tiga hari dalam sepekan, dari Jumat sampai Minggu Abi
menghabiskan waktu di kampus pasca sarjana. Mendiskusikan pola komunikasi dan
pengetahuan tentang komunikasi Islam maupun ilmu komunikasi secara umum.
Namun, hari
ini terasa ada yang aneh di ruang kelas Abi. Biasanya, kelas ini selalu ramai
dengan “fatwa” segar dari Affanuddin. Kami memanggilnya Pak Cik. Usianya
sekitar 62 tahun. Seorang lainnya, Tengku Ramli, Imam di Masjid Islamic Center
Lhokseumawe, usianya sekitar 60 tahun.
Dua tokoh tua
ini selalu menyegarkan suasana diskusi di ruang kelas. Namun, hari ini keduanya
tak hadir. Seakan ada yang hilang Nak. Kami sangat salut pada dedikasi mereka
menuntut ilmu.
Pada saat
pengumuman lulus tes pasca sarjana, kami menanyakan buat apa ijazah magister
bagi seorang Affanuddin dan Tengku Ramli?
“Biar anak
saya tahu, bahwa selama ini saya selalu menasehati anak-anak jika diberi waktu
oleh Allah maka tuntutlah ilmu. Tak mengenal waktu, tempat dan usia. Ini
sebagai pembuktian, bahwa saya juga masih menuntut ilmu,” jawab Pak Cik Affanuddin.
Dia
menyebutkan, kini dia telah memiliki cucu yang sudah duduk di bangku Sekolah
Menengah Atas (SMA). Dia ingin, cucunya meniru jejaknya. Beruntung, seluruh
anaknnya menyelesaikan pendidikan sarjana.
“Sehingga,
cucu saya yakin apa yang saya sampaikan. Bahwa, saya juga masih menuntut ilmu
meski untuk menyerapnya saya kepayahan. Saya mulai susah mencerna pelajaran.
Maklum, faktor U (usia),” harap Pak Cik Affanuddin sambil menyerumput teh
hangat di kantin depan pasca sarjana.
Lain lagi
Tengku Ramli. Dia memiliki tiga anak, ketiganya lulusan timur tengah dan
mengantongi gelar magister. Dua menantunya juga menamatkan pasca sarjana dari
universitas bergengsi di Indonesia.
“Saya tak mahu
kalah dengan anak dan menantu. Saya ingin buktikan, bahwa saya juga masih mau
kuliah. Belajar itu wajib hukumnya. Meski pun dosen-dosen yang mengajarkan saya
umurnya jauh dibawah saya,” kata Tengku Ramli.
Menurut Tengku
Ramli, istirinya juga ingin kuliah lagi. Namun, karena kondisi kesehatan kurang
mengizinkan dan menderita penyakit pada persendian kaki, maka istrinya
membatalkan niat kuliah.
Dua sosok ini menginspirasi kami. Semangatnya untuk kuliah luar biasa. Bahkan, dia jarang tidak hadir. Jika tak hadir, pasti kondisi kesehatannya kurang baik.
Nak, 17 bulan
lalu, Umimu meminta untuk melanjutkan pendidikan ke program pasca sarjana
ekonomi manajemen di salah satu universitas negeri provinsi ini. Tiga kali Abi
menanyakan apakah dia siap kuliah lagi. Karena, ketika kuliah, dia harus
merelakan sedikit waktunya terkuras untuk menulis makalah, paper dan lain
sebagainya. Artinya, selain merawatmu, bekerja kini waktunya terkuras untuk
kuliah dan mengerjakan tugas.
“Demi ilmu,
siap kurang tidur,” jawab Umimu mantap saat itu.
Maka, Abi
menyetujui Umimu kuliah. Kami ini tidak mendapatkan beasiswa dari pihak mana
pun Nak. Artinya, kami menghemat sedemikian rupa dari gaji yang tak seberapa
untuk membayar biaya semester dan keperluan kuliah lainnya. “Kita kencangkan
ikat pinggang Bi. Kita kuliah sama-sama,” begitu kata Umimu. Kencangkan ikat
pinggang, berarti kami harus menghemat Nak. Tidak membeli barang yang kurang
diperlukan, apalagi yang tidak diperlukan sama sekali.
Maklum, biaya
kuliah lumayan Nak. Kami menyetor uang semester sebesar 11 juta, rinciannya
tujuh juta untuk Umi dan sisanya untuk Abi. Ini perjuangan menuju yang terbaik
Nak. Rasul sudah menyebutkan tuntutlah
ilmu ke negeri Cina dan sampai liang lahat.
Tak ada batas
waktu menuntut ilmu. Lihatlah Affanuddin dan Tengku Ramli. Meski di usia senja,
mereka tetap semangat menambah pengetahuan, menyimpannya dalam rekam ingatan
dan membagikannya pada keluarga dan masyarakat.
Ilmu yang kita
peroleh itu rezeki dari Tuhan. Jika tak dibagikan maka tak ada artinya. Jangan
pernah berpikir ilmumu akan bertambah jika engkau menyimpannya hanya dalam
rekam ingatan. Berbagilah. Toh, ilmumu tak berkurang. Bahkan, bertambah pahala.
Karena menyebarkan kebajikan bagian dari ibadah.
Dua sosok
teman kuliah Abi itu paling rajin berbagi pengetahuan Nak. Keduanya memiliki
pemahaman agama yang mendalam. Kami mendiskusikan dari persoalan akidah sampai
muamalah. Begitu setiap tiga hari selama sepekan.
Sebaliknya,
keduanya tak segan bertanya pada kami yang lebih muda, jika beliau tak
mengerti. Kami pun, dengan senang hati menjelaskannya. Nak, Abi dan Umi kau
mengikuti jejak dua sosok itu Nak. Abi dan Umi berusaha memberikan pendidikan
agama dan pendidikan formal terbaik untukmu. Jika kami berhasil menyandang
gelar magister, kami berharap kau bisa menyandang gelar doktor. Menamatkan
pendidikan strata tiga, baik dalam atau luar negeri.
Kami tak akan
membatasi kau pada jurusan tertentu Nak. Bagi Abi dan Umi, semua ilmu itu baik.
Tergantung siapa dan bagaimana menggunakannya. Jika kau menyukai pertanian,
maka dalamilah ilmu pertanian. Jika kau menyukai dunia medis, maka jadilah
tenaga medis atau dokter yang handal. Melayani penuh belas kasih. Bukan
melayani dengan raut wajah kusam, masam dan kumal. Semua ilmu itu baik dan kamu
harus memilih salah satu diantara ratusan bidang ilmu. Agar pemahamanmu mendalam
tentang satu ilmu. Sehingga, engkau bisa menjelaskan lebih detail pada orang
lain tentang ilmu yang engkau pelajari.
***
Jika pun akhirnya kau memutuskan memilih ilmu tertentu
untuk kau pelajari, maka cintailah ilmu itu. Dulu, saat aku dinyatakan lulus di
jurusan Ilmu Komunikasi, jujur saja Nak, Abi bahkan tak tahu ilmu ini bicara
tentang apa. Ceritanya, saat Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Abi
mendaftar pada jurusan Ilmu Administrasi Negara dan Ekonomi Manajemen. Dua
jurusan itu menempati rangking tertinggi di masing-masing fakultas. Saat
pengumuman, Abi mencari nama pada dua jurusan itu, hasilnya tak ada Nak. Abi
dinyatakan tidak lulus pada dua jurusan yang Abi sukai.
Berkali-kali Abi mencari nomor ujian dan nama Abi, tetap
saja tidak ada di dua jurusan itu. Seorang teman, Abdul Manan namanya, yang
baru Abi kenal hari itu, mengajak Abi ke samping kanan kampus. Pada dinding di
samping itu tertulis lulus cadangan. Sedangkan yang lulus murni ditempel di
depan kampus. Nah, disitu tertulislah nama Abi pada jurusan ilmu komunikasi.
Saat pulang ke rumah, Adongmu bertanya ilmu komunikasi
itu mempelajari apa? “Ya mempelajari cara ngomong Mak,” jawabku saat itu.
Adongmu tertawa terpingkal-pingkal. Beliau mengerti Abi pasti tak paham benar
tentang jurusan itu. Satu pesannya, kuliah yang rajin, benar dan serius
mendalami ilmu yang dipelajari.
Hari pertama kuliah, seorang dosen bercerita pangsa pasar
lapangan kerja ilmu komunikasi. Dijelaskan, alumnus ilmu komunikasi sebagian
besar bekerja di perusahaan atau kantor pemerintah khususnya bidang hubungan
masyarakat, penyiar radio, jurnalis atau anchor
televisi. Mendengar itu, hampir saja hari itu Abi langsung pulang ke rumah
dan tak mau kuliah lagi. Karena, saat itu Abi sudah menjadi penyiar di salah
satu radio swasta. Membawakan program siaran remaja.
Beruntung Abi mendengar nasehat Adongmu. Beliau mendorong
agar Abi mencoba dua semester, tapi catatannya harus belajar mencintai jurusan
itu. Jika tidak cocok juga, maka silahkan pindah jurusan.
Memasuki semester kedua, Abi mulai sangat menyenangi
jurusan ini. Saat itu lah, Abi mulai belajar menulis nak. Abi spesifik
mempelajari jurnalistik, sebagian teman mempelajari broadcasting, sebagian lainnya mempelajari public relation.
Karena Abi mencintai dunia tulis menulis pula, Abi mulai
bekerja sebagai penulis tetap cerita pendek dan artikel yang isunya tentang
gerakan mahasiswa, pemuda dan lain sebagainya di salah satu tabloid lokal.
Honornya, jauh lebih besar dibanding uang bulanan yang dikirim Adongmu Nak.
Praktis, memasuki semester dua, Abi minta Adongmu menghentikan kiriman belanja
untuk Abi. Bahkan, sejak saat itu, jika ada uang lebih sedikit, Abi memberikan
untuk Adong.
Cerita ini kutuliskan, agar kau tahu, bahwa menuntut ilmu
itu harus serius Nak. Tekad bulat. Tak bisa separuh-separuh. Sehingga, hasilnya
memuaskan. Engkau akan menjadi orang yang ahli pada bidang tertentu. Bukan tahu
banyak bidang, namun sayangnya hanya permukaannya saja. Hanya dikulit ari,
bukan masuk ke isi. Beruntunglah orang-orang yang mengetahui detail satu ilmu
tertentu dan berbagi dengan orang lain tentang ilmu itu. Menyebarkan kebajikan
untuk sesama. Karena ilmu adalah anugerah dari sang pencipta. Dititipkan pada
kita untuk disebarkan pada seluruh manusia.
Post a Comment