Wajah Umimu tampak memerah setelah dipanggang
matahari. Jam putih bundar didinding bank dicat penuh warna ungu itu
menunjukkan pukul 12.00 WIB.
Petugas satuan pengamanan (Satpam) membukakan pintu
sambil mengucapkan salam. Ditambah dengan senyum selebar-lebar yang dia bisa.
Kami menjawab salam itu dan langsung menuju meja di sisi kanan. Mengisi nomor
rekening dan nama Abi pada sebuah kertas berukuran dua jari orang dewasa.
Dua petugas teller tampak santai. Sesekali mereka
berdiskusi. Entah apa yang dibahas.
Sedangkan dua petugas custumer
service sibuk dengan dengan komputer di depannya. Entah apa yang mereka
ketik. Matanya fokus ke monitor.
Selain kami, ada seorang warga yang ingin menarik uang
tabungannya. Praktis, kami tak mengantre. Langsung menuju teller yang sedang
lowong. Teller pria itu menyambut ramah.
“Assalamualaikum bapak, terima kasih sudah datang. Apa yang bisa saya bantu?”
sebutnya ramah.
“Mau setor tabungan,” jawab Umimu ramah. Lalu
mengeluarkan segelung uang pecahan lima puluh ribu dan buku tabungan warna
ungu. Petugas itu lalu meminta kami melihat ke mesin penghitung uang kertas.
Setelah itu, dia meminta kami duduk di kursi depan teller.
Tak perlu menunggu lama, sekitar lima menit, petugas
itu telah menyerahkan buku tabungan dan menunjukkan nominal terakhir di
tabungan itu. “Terima kasih bapak atas kepercayaannya pada bank kami. Ada lagi
yang saya bantu,” ujarnya. Teller di sampingnya juga mengucapkan kalimat yang
sama pada warga di depannya.
Umi menggeleng, dan mengucapkan terima kasih serta
menjawab salam dari teller pria berambut ikal dengan kacamata minus itu.
Sebelum pintu keluar, Satpam kembali membukakan pintu
dan mengucapkan salam. Kami tersenyum. Sepertinya, seluruh karyawan di bank itu
menghafal kalimat yang sama untuk seluruh warga yang datang. Tidak pakai
perubahan kata atau struktur kata.
Pemandangan di bank itu tentu akan berbeda dengan bank
lainnya. Lebih-lebih dengan bank konvensional. Meski daerah ini menerapkan
syariat Islam, namun masyarakat belum memperhitungkan kehadiran bank syariah.
Buktinya, ketika bank konvensional membuka loket pelayanan sampai 20 unit di
kantor cabang, bank syariah hanya dua unit. Masyarakat sampai mengantre minimal
sejam baru bisa dilayani oleh karyawan bank konvensional. Penuh dan sesak.
Sebaliknya, bank syariah kesepian di pojok kota.
Jika pun ada warga yang menggunakan layanan bank
syariah itu jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sehingga, pemandangan sepi
selalu terlihat. Miris Nak. Ini daerah yang mendeklarasikan diri sebagai daerah
syariat.
Syariat Islam merupakan salah satu kekhusususan Aceh
dibanding daerah lainnya di Indonesia. Tentu lebih banyak kekhusususan lainnya
seperti mengelola hasil alam, dana otonomi khusus yang jumlahnya triliunan,
dana bagi hasil minyak bumi dan gas, plus kelebihan lainnya. Tapi, bukan itu
yang Abi ceritakan hari ini.
Pertanyaannya, apa yang salah, sehingga masyarakat
enggan menggunakan layanan jasa bank syariah. Tahukah kamu Nak, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa No 20/DSN-MUI/IV/2001 yang
mengharamkan bank konvensional. Majelis ulama negeri ini mengimbau agar
masyarakat menggunakan layanan perbankan syariah. Guna menghindari riba yang
dipraktikkan oleh bank konvensional.
Nak, Abi bukanlah alim ulama. Namun, Abi sudah
menabung di bank ini sejak Abi masih lajang dan sejak bank ini pertama di buka.
Praktis seluruh tabungan Abi yang jumlahnya tak seberapa itu Abi simpan sejak
dulu sampai sekarang di bank itu. Hanya gaji saja yang menggunakan layanan bank
konvensional. Itu pun, karena perusahaan mewajibkan menggunakan layanan bank
tersebut. Jika tidak, Abi juga pasti meminta agar perusahaan mentsranfer gaji
Abi ke rekening bank syariah. Selama ini, jika hari ini kantor menstranfer
gaji, hari ini juga Abi tarik ludes melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Hanya
sisa agar rekening bank konvensional itu tidak ditutup. Seluruh gaji Abi
serahkan ke Umimu. Setelah membayar iuran bulanan dan lain sebagainya, jika
masih sisa, barulah kami menabung Nak.
Abi bukanlah alim ulama yang khattam segala
pengetahuan agama Nak. Pemahaman Abi tentang agama tentu sangat kecil
dibandingkan para ulama tersohor di negeri ini, yang memiliki ribuan santri dan
puluhan pesantren. Namun, Abi berusaha mempraktikkan apa yang Abi ketahui.
Misalnya, soal riba dari sistim perbankan konvensional. Bank syariah menerapkan
pola bagi hasil Nak. Tentu bagi hasil ini akan berbeda setiap bulannya.
Tergantung kinerja bank itu sendiri. Sedangkan bank konvensional menggunakan
sistim bunga. Bank akan menentukan presentase bunga yang akan diberikan pada
nasabah sejak awal, dan begitu seterusnya. Bahkan, jika bank itu memperoleh
untung besar dari uang yang dikelola, bunga yang disalurkan pada nasabah tetap
sama sesuai perjanjian awal dengan nasabah. Ini yang disebut riba.
Tahukah kamu Nak, Allah sudah mengingatkan kita dalam
surah Al Baqarah ayat 276 yang artinya Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Pada ayat 278-279 surah yang sama, Allah mengingatkan Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka, jika kmau tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan, jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu,; kamu tidak
mengianiaya dan tidak pula dianiaya.
Ayat itu sangat jelas mengingatkan kita tentang bahaya
riba. Sejak memiliki uang sedikit dan
bisa menabung, sejak saat itu pula Abi menyimpan uang di bank syariah. Abi tak
ingin memakan riba yang datang diam-diam. Tanpa Abi sadari, tanpa Abi sengaja
lewat layanan perbankan yang Abi gunakan.
Dalam sebuah hadis Rasul SAW bersabda satu dirham dari riba yang dimakan oleh
seseorang dan dia tahu itu (riba) maka lebih besar di sisi Allah daripada
berzina tiga puluh enam kali. Bahkan, dosa riba lebih besar dibanding dosa
berzina Nak. Berdiri bulu kuduk Abi membaca hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad
dan Ath Thabrani itu. Sungguh dosa maha dahsyat memakan uang riba Nak.
Pada hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Ath
Thabrani Rasul menyebutkan apalabila telah tampak perzinaan dan riba di
suatu negeri, maka mereka berarti menghalalkan azab Allah atas diri mereka.
Nak, semoga engkau faham makna hadis itu. Sungguh
mengerikan jika negeri ini diberikan cobaan maha dahsyat oleh Allah karena kita
tanpa sengaja telah memakan hasil riba.
Nak, hadis lainnya menyebutkan Nabi SAW bersabda riba itu tujuh puluh pintu, yang paling
ringan adalah seperti seseorang yang menzinahi ibunya sendiri. Sungguh,
hadis ini sangat menggetarkan hati Nak. Sungguh Rasul ingin kita semua ummatnya
menjauhi diri dari praktik riba.
Jika kelak engkau dewasa, maka gunakanlah layanan bank
syariah. Kita berusaha menghindari riba Nak. Selain itu, berilah pemahaman pada
masyarakat tentang bank syariah. Masyarakat masih menganggap bank ini sama
dengan bank konvensional, Sehingga tidak diminati.
Jika jadi pemimpin kelak, maka dukunglah berdirinya
bank syariah di kantor atau daerah yang engkau pimpin. Sehingga, dari hari ke
hari, bank syariah semakin membumi di negeri yang kita cintai ini. Amin.
Post a Comment