Mereka
mengenakan pakaian serba putih dan selempang ukuran setengah meter di sampir ke
pundak. Pada selempang itu ditulis nomor kelompok terbang (Kloter), embarkasi
dan asal daerah mereka. Mereka berdiri rapi, berjejer menuju bus yang
membawanya ke Bandara Polonia Medan. Saat itu, belum ada penerbangan lewat
bandara di Aceh.
Ratusan
saudara mereka berjejer di luar masjid. Bersalaman. Ada juga yang menangis.
Meminta agar dipanggil namanya ketika sampai di tanah suci. Berharap, mereka
juga bisa menunaikan rukus Islam itu.
Saat
itu, aku menuntun seorang nenek ringkih ke bus. Berjalan pelan dan tertatih.
Saat itu pula aku teringat Adongmu, Ibuku Nak. Abi ingin agar Adong juga bisa
berangkat ke tanah suci.
Sejak
saat itu, Abi bertekad, satu hari nanti akan mengumpulkan uang untuk membayang
Ongkos Naik Haji (ONH) yang naik dari tahun ke tahun untuk Adongmu.
Belakangan,
ketika Abi semester delapan kuliah, film Emak Ingin Naik Haji diputar di
sejumlah bioskop tanah air. Abi sempat menyaksikan film itu bersama seorang
teman di Medan. Maklum, di kota kita tak ada bioskop Nak.
Film
itu benar-benar menggetarkan jiwa Abi. Selama ini, sudah belasan tahun Abi
berniat menghajikan Adongmu, namun belum terkabul. Bahkan, saat menonton film
itu, Abi belum bekerja. Masih mahasiswa semester akhir yang sedang menyusun
skripsi.
Setelah
Abi menikah, Abi berdiskusi dengan Umimu. Umi setuju kami akan menabung uang
buat Adong berhaji. Selembar demi selembar kertas rupiah itu kami kumpul dari
gaji Abi yang tak seberapa. Pelan-pelan, tabungan itu lumayan. Jika dibayarkan
untuk berhaji Adong, maka sudah cukup Nak.
Abi
dan Umi semangat membujuk Adong agar ingin berhaji. Adong senang bukan kepalang.
Menitikkan bulingan jernih di pipinya.
“Nak.
Adong ingin naik haji. Namun, Adong lebih ingin melihat kalian membeli rumah.
Tak ada gunanya Adong berhaji, sedangkan kalian masih tak memiliki rumah dengan
uang belanja yang pas-pasan,” kata Adongmu.
Kami
mengalah. Tak lagi membujuk Adong. Namun, kami bertekad agar segera membeli
rumah. Maka, awal tahun 2014, kami membeli sepetak rumah kecil di lorong buntu.
Lebar lorong itu hanya satu meter Nak. Tak bisa dilalui mobil. Tak apalah Nak.
Terpenting, Abi membeli rumah dan dengan begitu Adong pasti mau berhaji.
Rumah
tiga kamar dengan dinding papan itu kami beli dengan harga lumayan murah. Bisa
dicicil enam kali pada pemiliknya. Adong sangat menyukai rumah ini.
“Mak,
kami sudah punya rumah. Doakan, agar kami mudah rezeki. Agar kami bisa menabung
lagi untuk ongkos mamak naik haji,” kata Abi saat duduk santai bersama Adong di
teras rumah.
“Emak
selalu mendoakan kalian Nak. Pasti, satu hari, jika Allah menghendaki,
mentakdirkan Emak ke tanah suci, pasti itu terjadi. Percayalah Nak, semuanya
sudah ditakdirkan sama sang pencipta,” jawab Adong.
Mendengar
jawaban itu, Umimu sangat bahagia. Kami
pun mencoba mengumpulkan lembar demi lembar rupiah lagi. Gaji Abi dan Umi hanya
cukup buat keperluan kita selama sebulan Nak. Tidak bisa menabung untuk Adongmu
berhaji.
Namun,
Abi sudah tekadkan, program menabung untuk ONH harus terus berlanjut. Caranya,
Abi menulis cerita pendek, mengikuti lomba penulisan dan mengirimkan naskah ke
penerbit. Honor tulisan Abi itu kami kumpulkan untuk ONH. Tidak kami kurangi
sedikitpun. Royalti dari buku Abi yang terbit awal tahun 2014, juga Abi tabung
buat Adong berhaji.
Bahkan,
secara khusus, Umimu membuatkan nomor rekening bank yang baru khusus untuk
menyimpan uang hasil lomba, honor cerita pendek Abi yang dimuat di media, serta
royalti novel Abi. Sampai sekarang, nominal di buku rekening itu masih pendek
Nak. Deretan angkanya masih kecil-kecil. Tidak berderet panjang, menandakan
nominal rupiah yang besar.
Rekening
khusus ini tujuannya agar uang itu disimpan khusus. Sehingga, tidak digunakan
untuk membeli kebutuhan harian, seperti beras, sayuran, ikan termasuk
pempersmu. Uang itu aman di buku rekening berwarna krem Nak. Sebegitu gigihnya
Umimu mengatur keuangan, demi Adongmu berhaji.
“Ya
Allah, kami mohon kabulkanlah permintaan kami, lapangkanlah rezeki kami, agar
kami bisa menghajikan orang tua kami.” Doa ini yang Abi panjatkan setiap simpuh
sujud.
Tahun
ini, kami ingin mendaftarkan Adong berhaji. Meski sekarang belum pundi-pundi rupiah
belum mencukupi, kami yakin Allah maha mengabulkan doa. Maha member segelanya.
Percayalah Nak. Allah mendengarkan doa kita. Doa terbaik untuk orang terbaik.
Setelah
Adong berhaji, barulah Andungmu, ibu dari Umimu yang kita programkan berhaji.
Nak, Abi dan Umi ingin menjadi anak yang berbakti. Kami ingin, agar orang tua
kami bisa menunaikan ibadah di tanah suci. Melengkapi rukun Islam yang telah
dilaksanakannya selama ini.
Setelah
orang yang membesarkan kami berhaji, barulah kami menunaikan ibadah itu. Itu
tekad kami Nak. Semoga, satu hari nanti, tekad itu semua terkabul. Kita bisa
sama-sama mengantarkan Adong dan Andung ke bandara menuju tanah suci, Mekkah Al
Mukarammah. Amin.
Post a Comment