SATU hari, di penghujung
bulan Ramadan 2014, seorang teman meminta saya mengikuti lomba menulis yang
diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT KNPI ke 41. Teman itu menyatakan
sangat khawatir tidak ada peserta dalam lomba tersebut.
“Jika tak ada peserta, bisa gawat acara ini,”
kata teman itu. Kami duduk di warung kopi hingga dini hari. Menghabiskan
bergelas-gelas kopi yang diolah dari Ulee Kareng yang tersohor itu.
“Boleh. Nanti saya kirim naskah satu. Saya
punya paper tugas kuliah di kampus, nanti saya kirimkan,” ujar saya dalam
diskusi ringan itu. Setelah beberapa hari, saya lupa pada diskusi itu. Menjelang
batas akhir pengumpulan naskah, saya teringat lagi janji saya.
Maka malam itu, saya buka file paper tugas-tugas
saya selama menjadi mahasiswa pasca sarjana Komunikasi Penyiaran Islam. Beruntung, file itu masih ada. Judul aslinya,
Riwayat Pendidikan Islam di Samudera Pasai. Ini tugas untuk mata kuliah
Pekermbangan Islam dari Aceh ke Nusantara. Diampu oleh Ketua STAIN
Malikussaleh, Dr Hafifuddin. Kala itu, seluruh mahasiswa ditugaskan menulis
paper minimal sepuluh halaman.
Maka, dengan mengubah beberapa bagian kecil,
seperti judul, dan memutilasi lima halaman, maka jadilan tulisan yang saya
kirim ke lomba ini. Nasib baik, paper yang awalnya tugas kuliah saya itu
menjadi juara harapan satu. Saya tersenyum-senyum ketika dikabari informasi
itu. Tentu saja plus bersyukur pada sang pencipta. Toh, kini paper itu naik
statusnya, bukan semata-mata tugas kuliah. Dari juara harapan. Hanya butuh
beberapa menit saja memutilasi dan mengganti judul. Dan, inilah paper yang
menemukan jodohnya…
===
Ihwal
Sang Sultan
KEMASYHURAN
raja
ini dikenal luas, dari Aceh hingga Nusantara, dari semenanjung Malaya sampai
Asia Tenggara. Dialah pemimpin besar, Sultan Malikussaleh. Menahkodai Kerajaan
Samudera Pasai. Meletakkan fondasi pemerintahan, membentuk tatanan sosial,
sistem pendidikan hingga mengembangkan ajaran Islam.
Sebagai pendiri
kerajaan, Sultan paham benar bagaimana merebut hati rakyat. Menempatkan diri
sejajar dengan rakyat. Hingga, misi penyebaran agama Islam berlangsung begitu
cepat. Tercepat dalam sejarah penyebaran agama di Nusantara (Azumardi Azra
:2004). Hanya hitungan tahun, Islam sudah mengakar di bumo Pasai. Tahun-tahun berikutnya, menyebar ke Nusantara melalui para
santri yang hijrah ke Pulau Jawa. Para santri ini belakangan dikenal dengan
sebutan Wali Songo.
Sultan
tidak enggan berbaur dengan rakyat. Seorang petualang, Ibnu Batutah, dalam
sebuah kunjungannya ke Samudera Pasai menyebutkan Sultan selalu berjalan dari
istana menuju masjid ketika salat Jumat. Usai Jumat, Sultan berbaur dengan
rakyat. Duduk bersila dalam formasi melingkar untuk mendengarkan kajian Islam
yang disampaikan oleh ulama-ulama kerajaan.
Soal
hubungan internasional, Sultan juga memberikan izin tinggal ulama asing dari
India, Persia dan Arab untuk menetap di Aceh. Mendirikan balai-balai pengajian
di samping rumah para ulama dan mengimbau seluruh rakyat belajar pada ulama
tersebut. Bahkan, Sultan juga membantu ulama untuk memilih tempat tinggal dan
mendirikan balai pengajian. Naturalisasi ulama asing ini semakin nyata setelah
menikah dengan dara Aceh. Sehingga, proses Islamisasi masyarakat Aceh semakin
cepat. Puncaknya, pada abad ke 10 masehi, Samudera Pasai dikenal sebagai pusat
pengembangan ajaran Islam paling populer di Asia Tenggara dan sebagian kecil
Timur Tengah. Sikap yang sama diajarkan pada putranya, Malikuddhahir. Sehingga,
pepatah yang menyatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya tepat ditabalkan
untuk kerajaan ini. Malikuddhahir lah orang yang memformalkan pendidikan dayah
pertama di Aceh.
Sultan
Malikussaleh sadar betul, untuk memajukan sebuah bangsa harus menggunakan jurus
jitu masuk lewat pintu pendidikan. Baik itu pendidikan agama, pendidikan umum
sampai pendidikan bercocok tanam dan berdagang. Kerajaan menyediakan guru untuk
mengajarkan berbagai pengetahuan yang diperlukan rakyat. Seluruh pengetahuan
itu gratis. Bukan berbayar layaknya sistem pendidikan modern saat ini.
Dampaknya, bumi
yang subur sepanjang Krueng Pase hingga Krueng Jambo Aye itu menghasilkan aneka
rempah. Sehingga, ratusan kapal-kapal pedagang mancanegara berlabuh di Krueng
Pasai. Bongkar-buat barang terjadi sepanjang siang dan malam. Aktivitas itu hanya
jeda ketika azan berkumandang. Mereka membeli rempah dan menjualnya sampai ke
Eropa. Sistem perdagangan modern yang diciptakan Sultan membawa berkah. Rakyat
menjadi sejahtera, dan melek aksara. Sehingga tak mungkin bisa tertipu oleh
spekulan yang telah ada zaman purba.
Pertahanan
Semesta
Militer
Indonesia, melalui Jenderal AH Nasution mengembangkan sistem pertahanan
semesta. Sebagian pemikir menyebutnya sistem pertahanan gerilya. Jauh sebelum
pahlawan revolusi itu mengembangkannya, Meurah Silue telah menerapkan konsep
ini. Menitikberatkan kedekatan prajurit istana dengan rakyat. Prajurit bukan
tukang semprit yang menciptakan masalah hukum untuk memenuhi kuota sidang di
istana. Prajurit pelindung untuk seluruh warga yang ada di bumi Pasai. Tak perduli dia datang dari India atau
Eropa. Tak perduli perbedaan suku, ras dan agama. Istana melindungi semua warga
yang menetap atau berkunjung ke Pasai. Sikap pluralisme prajurit-prajurit Pasai
telah diakui oleh Marcopolo dalam kunjungannya ke Aceh.
Kecintaan rakyat
pada Sultan dan kerajaan menjadi benteng utama pertahanan. Prajurit istana
menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat. Dari buruh angkut di kanal-kanal
dermaga, nelayan, petani dan pengusaha bersatu untuk menjaga kedaulatan bangsa.
Buktinya, Samudera Pasai tercatat
sebagai satu-satunya kerajaan yang tak bisa ditaklukkan Gajah Mada yang
berikrar lewat Sumpah Palapa. Panglima Perang Kerjaan Majapahit itu berhasil
dipukul mundur oleh prajurit Pasai dibantu seluruh rakyat Pasai (Putra Gara : 2012).
Rakyat bersatu padu melawan pasukan yang ingin menaklukkan Samudera Pasai di bawah
Kerajaan Majapahit. Mereka ingin, Pasai tetap berdaulat. Berdiri di atas kaki
sendiri dan mengatur kehidupan secara Islami.
Meski rakyat dan
prajurit menyatu bagai gula dengan kopi, penegakkan hukum menjadi keharusan.
Menciptakan rasa nyaman bagi masyarakat adalah esensi hukum itu sendiri.
Sehingga, ketika ada kasus-kasus hukum, prajurit tak segan membawa pelakunya di
persidangan istana. Para hakim istana dari kalangan ulama menjatuhkan vonis
seadil-adilnya. Rujukan hukum bermuara pada Quran dan hadis. Sehingga pelaku
kejahatan merasakan keadilan. Bukan penzaliman lewat meja persidangan seperti
lakon dewasa ini.
Enggan
Bercermin
Lalu
bagaimana Aceh dan Indonesia kini? Bangsa ini menghadapi krisis kepemimpinan
akut. Reformasi belum membawa angin segar perubahan di bidang penegakan hukum.
Idiom hukum bak pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas masih terus
terjadi.
Beberapa kasus hukum yang fenomenal mencuat sebagai
bentuk pengkhianatan negara terhadap rakyat. Lihatlah kisah Nek Minah (55) di
Purwokerto, Jawa Tengah harus duduk di kursi pesakitan hanya karena mencuri
tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan.
Nenek renta ini bahkan telah meminta maaf dan mengembalikan kakao itu
pada mandor perusahaan. Namun, merasa berkuasa, perusahaan melaporkannya ke
polisi. Kasus ini diusut hingga pengadilan memvonis perbuatannya 45 hari
penjara dengan masa percobaan tiga bulan penjara medio 2009 lalu.
Peristiwa menyedihkan lainnya ketika polisi mengusut
kasus pencurian setandan pisang yang dilakukan suami-istri, Supriyono (19) dan
Sulastri (19) di Bojonegoro, Jawa Tengah. Tak tanggung-tanggung, Jaksa Penuntut
Umum (JPU) mengganjar terdakwa kasus ringan ini dengan ancaman tujuh tahun
penjara medio 2010 lalu. Harga setandan pisang saat itu berkisar Rp7.000- Rp
10.000.
Belum hilang ingatan masyarakat pada cerita kepiluan
hukum itu, dua tahun kemudian, seorang
anak berinisial DW (15) dituntut tujuh bulan penjara, hanya karena mencuri uang
Rp 1.000 di Denpasar, Bali. Anak yatim piatu ini mencuri karena kelaparan.
Butuh uang buat beli nasi makan siang dan bertahan hidup. Meski perbuatan ini
salah dimata Tuhan dan dimata hukum, namun menuntut tujuh bulan penjara
merupakan satu kemunafikkan yang dipraktikkan aparat negara.
Dilema hukum semakin akut ketika puluhan anggota
DPRD/DPR RI, kepala daerah, polisi, politisi, menteri hingga ketua Mahkamah
Konstitusi negeri ini terjerat dalam kasus suap dan korupsi. Menjadi tahanan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan anehnya masih tersenyum sumringah di
depan layar kamera. Tanpa malu atau jeri atas perbuatannya. Tanpa merasa
berdosa pada rakyat yang memilihnya. Tanpa iba terhadap hak rakyat yang
dirampas haknya.
Sejatinya, hukum berlaku setara. Tak mengenal kasta.
Tak mengenal anak pejabat negara. Semua warga, jika bersalah harus dihukum
seadil-adilnya. Lakon pilu kebangsaan kita itu disebabkan karena bangsa ini
enggan bercermin pada peristiwa masa lampau. Enggan membaca sejarah dan riwayat
kepemimpinan terbaik yang pernah dimiliki perut bumi Indonesia. Jikalah Sultan
Malikussaleh masih hidup, dia kan menangis melihat realitas anak bangsa saat
ini.
Ironi bangsa tak berhenti pada simpul hukum. Lihatlah
perilaku aparatur sipil kita. Cerita apratur negara enggan melayani warga masih
terdengar saban hari. Menghiasi laman situs berita dan lembaran koran. Untuk
mencetak selembar surat keterangan pindah desa saja butuh waktu 36 jam.
Aparatur kita lupa bahwa mereka pelayan warga. Bukan melayani atasan yang rajin
memberi uang tips atau proyek yang melimpah sepanjang tahun anggaran.
Kini, saatnya seluruh pemuda dan anak bangsa
bercermin. Merenung dan menghayati peristiwa lampau. Mengambil esensi terbaik.
Mengamplikasikannya dalam praktik melayani warga. “Selemah-lemahnya” iman,
mempraktikkannya dalam kehidupan berumah tangga.
Bangsa ini harus berani mengingatkan ketika pemimpin
alpa pada rakyatnya. Membangunkan pemimpin agar tak terlena dalam buaian
kekuasaan. Mengajaknya kembali menengok rakyat, membuat program yang
mensejahterakan mereka.
Kini, mari bercermin. Mari mengevaluasi kesalahan dan
dosa-dosa. Berbuat baik untuk semua warga di bumi sang pencipta. Mari merenung
ketika malam kian dewasa. Menunggu pagi nan cerah atau kita kan membiarkan
malam berubah menjadi malam jahanam. Entahlah.
Post a Comment