PT Arun NGL, 15 Oktober 2014, mengakhiri ekspor gas ke
Korea Selatan dan Jepang. Pada Desember mendatang, ratusan karyawan perusahaan
yang beroperasi sejak 1987 itu, tak berkantor lagi. Perusahaan itu akan beralih
menjadi terminal gas di bawah bendera PT Perta Arun Gas.
Meski telah mengakhiri ekspor gas, tatusan kepala keluarga,
eks Blang Lancang menuntut ganti rugi lahan. Konon, puluhan tahun lalu, lahan
dimana pabrik Arun berdiri, di situlah perkampungan warga. Lahan itu strategis.
Langsung menghadap ke laut lepas. Hingga sangat cocok dibangun pabrik pengolah
minyak dan gas.
Pemerintah pun menetapkan lokasi itu sebagai kilang Arun.
Dampaknya, lahan warga dibeli, dengan satu janji, akan diberikan perkampuangan
di Ujong Pacu. Janji itulah yang kini dituntut oleh anak, cucu dan cicit
pemilik lahan.
Dua tahun lalu, Pertamina dan Kementerian Keuangan telah
menyahuti tuntutan itu. Janji yang dilontarkan, warga eks Blang Lancang akan
diberikan rumah dan tanah serta fasilitas umum di Ujung Pacu, Lhokseumawe.
Tahun bergulir. Janji tinggal janji tak kunjung di tepati. Mereka eks Blang
Lancang kembali beraksi. Berteriak menuntut hak. Bagi masyarakat Aceh, menuntut
hak sesuatu keniscayaan dan mulai untuk diperjuangkan.
Dua bulan
menjelang akhir tahun, PT Arun telah menyerahkan aset ke Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Mungkin, Arun beranggapan,
Pemerintah Aceh tak mampu mengelola aset itu. Pasalnya, tiga turbin listrik
yang dihibahkan ke PT Arun lima tahun lalu, hingga kini terpapar terik
matahari. Teronggok dan tak difungsikan.
Langkah itu
berbanding terbalik dengan langkah yang dilakukan ExxonMobil. Perusahaan yang
bermarkas di Amerika Serikat itu, menghibahkan hampir seluruh asetnya untuk
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dan Universitas Malikussaleh. Aset perumahan
digunakan Unimal sebagai ruang perkuliahan. Sedangkan sebagian aset ex Bachelor
Camp ExxonMobil digunakan untuk kantor dinas. Sebagian lagi dijarah.
Sejatinya,
Arun harus menjadi pusat ingatan warga Aceh. Bahwa, di bawah perut bumi itu, di
eks Blang Lancang, diambil kekayaan alam dan dijual ke luar negeri untuk
menghidupi bangsa ini.
Arun tinggal
nama? Bisa jadi. Kita tunggu, apakah Arun meninggalkan aset monumental untuk
Aceh. Atau aset itu akan menjadi kenangan tak berwujud. Hanya dalam angan
semata.
Lebih bijak,
Arun menyerahkan aset pada lembaga dan tangan yang tepat. Saya tak ingin
menyebutkan nama lembaga yang menurut saya cocok sebagai penerima aset Arun.
Arun telah beroperasi puluhan tahun di Aceh. Memiliki pengalaman bekerjasama
dengan banyak pihak. Tentu, Arun punya penilaian sendiri lembaga mana yang
cocok dan layak mendapatkan aset itu. Agar bermanfaat untuk anak cucu. [masriadi sambo]
Post a Comment